BAB I
SEKELUMIT TENTANG SASTRA
1.1. Pendahuluan
Istilah ‘pendekatan’ dalam suatu proses penelitian sastra diidentikkan
dengan titik berangkat sekaligus sisi-sisi objektif yang dimanfaatkan peneliti
dalam menjalankan penelitiannya. Dalam
penelitian sastra atau kritik sastra, berbagai bentuk pendekatan dapat
dimanfaatkan. Bahkan
penelitian sastra menisbikan pemanfaatan lebih dari satu jenis pendekatan.
Meskipun demikian, pendekatan-pendekatan tersebut senantiasa melahirkan konklusi-konklusi
yang berbeda, bahkan bersifat kontras. Hal ini disebabkan oleh perbedaan sudut
pandang dan dasar-dasar pembentuk tiap-tiap pendekatan tersebut, juga
relevansi-relevansinya dengan kaidah-kaidah diluar karya sastra yang diteliti.
Karya sastra, menurut DR. Faruk
adalah suatu model yang memodelkan kenyataan semesta. Pandangan ini
menganggap bahwa karya sastra merupakan suatu dunia kata-kata yang membentuk
suatu realitas imajinatif, suatu kehidupan yang dihidupkan lewat pembacaan dan
penafsiran. Felix Vodicka yang adalah murid dari Jan Mukarovsky (kritikus
sastra asal Polandia) juga berasumsi bahwa sebuah karya sastra yang tidak
dibaca, tidak ditafsirkan hanya akan menjadi sebuah artefak, atau struktur
mati. Dengan kata lain “tidak berguna”.
Tidaklah demikian jika kita bersandar pada pengertian sastra sebagai sebuah
seni yang diekspresikan bermedium bahasa, yang kompleksitasnya meliputi
nilai-nilai edukasi, moral dan estetika. Jika kita bersandar pada pengertian sastra diatas, maka jelas sebuah karya sastra
bersifat dibutuhkan. Aristoteles dalam perdedebatannya dengan Plato yang tidak
lain adalah gurunya sendiri berkata bahwa nilai-nilai seni di dalam karya
sastra sarat dengan muatan-muatan edukasional dan moral, yang memungkinkan
seseorang mengalami penyucian jiwa, menjadikan manusia lebih budiman; dan
proses penyucian jiwa lewat seni ini dia (Aristoteles) sebut dengan istilah
Katharsis.
“Karya sastra harus dibaca dan ditafsirkan’. Ini merupakan dalil dasar yang harus menjadi pedoman. Namun bagaimanakah
agar seseorang dapat membaca dan menafsirkan sebuah karya sastra dengan
berhasil? Menurut Roland Barthes, cara pembacaan karya sastra yang berhasil
adalah dengan meniadakan pengarangnya. Proses penghilangan pengarang ini
disebutnya Depersonalisasi.
Namun tesis Barthes di atas ditentang oleh Prof. Teeuw yang berasal dari Leiden. Teeuw berkata
bahwa karya sastra merupakan media interaksi antara pengarang dan pembaca.
Penafian atau penghilangan pengarang atau depersonalisasi itu tidak lain adalah
pembunuhan sumber yang akan mengurangi motif penulisan dan makna tulisan.
Seorang pembaca membaca karya sastra tidak lain adalah mengadakan komunikasi
tidak langsung dengan pengarang, dalam rangka mendekati maksud pengarang, agar
dapat memetik hikmah dari karya yang bersangkutan. Tesis Teeuw ini terkesan
emosional. Teeuw menekankan keterlibatan emosional antara pembaca dengan
pengarang. Namun menurut saya, keterlibatan emosional dalam pembacaan karya
sastra akan terjadi antara pembaca dan tokoh-tokoh cerita dalam karya sastra
tersebut, sehingga depersonalisasi tidak akan menyebabkan hilangnya
keterlibatan emosional.
Idealnya, setiap pendekatan hampir memiliki keunggulan dan kelemahan
tertentu. Sehingga penggunaan lebih dari satu pendekatan bisa menciptakan
kerancuan dalam konklusi.
Seorang ahli dan pengguna bahasa, bergulat dengan dunia bunyi dan dunia
makna. Karya sastra yang adalah seni
yang bermediumkan bahasa sarat dengan makna-makna. Sedangkan dunia makna yang
tidak berkaitan dengan bahasa adalah filsafat. Pentingnya pengetahuan tentang
pendekatan-pendekatan (approaches) dalam penelitian sastra, adalah supaya tidak
terdapat kontradiksi dalam konklusi.
Dalam diktat ini, saya akan
mengulas secara garis besar mengenai teori-teori yang berhubungan dengan
pendekatan penelitian sastra. Diantaranya adalah:
Pendekatan Objektif (objective approach/pure structuralisme approach)
Pendekatan Ekspresif (expresive approach/biographic approach)
Pendekatan Pragmatis (Pragmatical approach)
Pendekatan Mimesis (Mimetical approach)
Pendekatan Psikologi (Psychological approach)
Pendekatan Objektif (objective approach/pure structuralisme approach)
Pendekatan Ekspresif (expresive approach/biographic approach)
Pendekatan Pragmatis (Pragmatical approach)
Pendekatan Mimesis (Mimetical approach)
Pendekatan Psikologi (Psychological approach)
Karya sastra merupakan sebuah
dunia yang terdiri dari kata-kata. Kata-kata terbentuk dari huruf-huruf.
Huruf-huruf merupakan simbol-simbol bunyi. Bunyi-bunyi memiliki makna. Sehingga
sastra sebagai dunia kata-kata, adalah dunia makna-makna. Perbedaan antara
sastra lisan dan sastra tulisan hanya pada bentuk. Namun sifat daripada
keduanya adalah sama. Dimana tulisan mewakili lisan dan mengabadikan bunyi atau
lisan tersebut. Namun dalam sejarahnya, sastra lisan berpeluang besar untuk
berubah, sedangkan sastra tulisan senantiasa terjaga orisinalitasnya. Uhlenbeck
membedakan antara bahasa lisan dan bahasa tulisan, dan dia berkesimpulan bahwa
masing-masing bahasa (lisan dan tulisan) memiliki keunggulan dan kelemahan.
Jika bahasa lisan sebagai
komunikasi langsung, ada keterlibatan emosional dan motif mimik dan intonasi
tuturan turut membantu pendengar dalam memaknai kata, namun dalam hal sastra
ini, makna-makna sastra lisan bisa saja berubah, meskipun ditutur secara
langsung, karena masing-masing orang memiliki motif bertutur yang berbeda.
Sedangkan bahasa tulisan yang merupakan komunikasi tidak langsung menisbikan
keterlibatan emosional dengan penulis, dapat dibaca berulang-ulang dan tidak
terikat ruang dan waktu, tidak seperti bahasa lisan. Orisinalitas tata-katanya
terjaga, dan memberikan ruang yang luas kepada pembaca untuk memaknainya. Namun
dalam hal sastra ini, sastra tulisan menghilangkan ciri khas pengarang dalam
menutur kalimatnya, sehingga pada gilirannya mimik dan intonasi pembacaan karya
sastra (terutama puisi) tidak melahirkan sensitivitas sekuat sastra lisan,
pengaruh terhadap jiwa penikmat tidak sekuat sastra lisan.
1.2. Sastra Sebagai Salah Satu
Bagian Seni
Adalah benar jika dikatakan bahwa sastra adalah seni, tapi lebih benar lagi
jika disebut bagian dari seni. Mengapa saya mengatakan bagian dari pada seni,
karena seni memiliki sekian banyak jalur dan medium untuk diekspresikan.
Berbicara mengenai seni, pernah terjadi perbedaan pendapat antara Plato dan
Aristoteles. Menurut Plato, nilai karya seorang tukang lebih tinggi
dibandingkan nilai karya seorang seniman. Plato berargumen bahwa seorang tukang
berkarya sesuai dengan kemutlakan benda-benda dalam kenyataan. Sedangkan karya
seorang seniman, menurut Plato senantiasa meniru kenyataan, sehingga secara
hierarkis karya seniman berada di bawah kenyataan. Sedangkan tukang menciptakan
sesuatu yang nyata dalam keadaannya.
Plato berpikir bahwa seniman menuruti emosi/nafsu yang mesti dikekang.
Sedangkan tukang menciptakan karyanya berdasarkan teknik. Aristoteles kemudian
mengatakan hal yang bertentangan, menurut Aristoteles seniman tidak meniru
kenyataan, melainkan menciptakan dunianya sendiri. Karya seni bisa menyebabkan
suatu penyucian bathin penikmat seni, dalam istilahnya Aristoteles menyebut
proses penyucian jiwa lewat seni ini disebut Katharsis.
Karya sastra sebagai karya seni tidak sepenuhnya meneladani kenyataan,
tetapi menciptakan dunianya sendiri. Seorang sastrawan menciptakan suatu dunia
fiksi, jalur pengembaraan dalam dunia tersebut adalah bahasa dan pilihan kata
yang digunakan. Sebagaimana seperti yang saya katakan, bahwa bahasa sebagai
sistem tanda (semiotik), setiap kata yang terdengar atau terbaca, memberikan
kita suatu rujukan dalam pikiran kita tentang realitas. Pengembaraan dalam
karya sastra bersifat imajinatif, artinya image kita berperan dalam menelusuri
dunia karya tersebut. Dalam istilah sastra disebut Heterokosmos (sastra sebagai
dunia dalam kata).
Kita membaca sebuah novel misalnya, dalam pembacaan itu kita senantiasa
berimajinasi, seolah-olah kita melihat kejadian yang ada dalam novel tersebut,
kita merasa terlibat, sedih, gembira, terharu, penasaran, marah dan sebagainya.
Secara psikologis, pembacaan sastra yang berhasil adalah yang berkesan pada perasaan
kita, dan itulah yang disebut sebagai pemuasan estetis.
Kata seni, memiliki dua arti.
Kita lihat dalam bahasa Inggris seni disebut Art. Kata Art ini berasal dari
bahasa Yunani Ars, yang artinya tidak lebih dari ‘Teknik’. Sehingga seni tidak
selamanya berarti ‘keindahan’. Tetapi kepandaian dan kemahiran. Lihatlah dalam
disiplin militer, ada seni perang, seni tempur, ada seni membunuh, ada seni
beladiri yang di dalamnya tidak terdapat pemuasan estetis.
Keindahan adalah arti kedua dari
‘seni’. Artian ini bertolak dari ungkapan Aristoteles bahwa seniman itu
merupakan titisan dewa/dewi keindahan yang disebut Muse. Sehingga karya para
seniman itu di nilai indah, berikut juga arti seni itu sendiri mengalami
pergeseran dari teknik menjadi keindahan. Namun dalam konteks lain, kata seni
juga digunakan sebagai arti teknik.
Demikian pula sastra atau karya
sastra, proses penciptaannya membutuhkan kemahiran tertentu, dalam hal ini
kemahiran dalam memilih dan merangkai kata untuk menggambarkan suatu keadaan. Dikatakanlah bahwa karya sastra merupakan
bagian dari seni, karena dibangun berdasarkan teknik dan mengandung nilai
edukasi, etika dan estetika.
Kita bisa membedakan, bahwa
seniman yang bergelut dengan huruf adalah sastrawan, seniman yang bergelut
dengan tinta dan kanvas adalah pelukis, seniman yang bergelut dengan nada dan
irama adalah musisi. Tetapi dalam menikmati karya mereka semua, kita merasakan
kepuasan seni yang sama, karena berasal dari suatu sifat yang sama, yakni seni
sebagai keindahan.
Memang ada beberapa karya sastra
yang menyebabkan gejolak sosial dan perubahan kepribadian secara individual,
ini disebabkan karena para penikmat terdoktrin melalui proses edukasi di dalam
karya sastra tersebut. Hal ini tidak berarti memupus nilai keindahan atau nilai
seni dari karya sastra, tetapi justru merupakan bukti bahwa karya sastra
memiliki potensi yang sangat kuat. Dan bukan saja karya sastra, karya seni yang lain pun demikian.
1.3. Manfaat Sastra Dipelajari
Membaca karya sastra (jika karya
tersebut berupa teks) saja sudah merupakan suatu proses pembelajaran. Karya
sastra merupakan miniatur kehidupan nyata, di dalamnya sastrawan menciptakan
masalah sekaligus solusi. Pada dasarnya menurut saya, Ilmu sastra terbagi atas
dua bagian besar, yaitu Ilmu Konstruksi dan Ilmu Konkretisasi.
Yang dimaksud dengan ilmu
konstruksi, adalah ilmu yang mengajarkan tentang pengetahuan mencipta atau
membangun sebuah karya sastra. Para sastrawan menciptakan karya mereka,
berdasarkan kepada berbagai hal, di antaranya adalah pengalaman pribadi dan
keprihatinan terhadap suatu kondisi kehidupan. Mereka sebagian besar
mempelajari teknik ber-sastra secara otodidak, pada dasarnya tidak ada disiplin
ilmu khusus yang membicarakan tentang konstruksi karya sastra. Jenis
kreatifitas konstruksi karya sastra pada umumnya diciptakan para ahli sastra.
Kahlil Gibran tidak pernah menjelaskan type penulisan karyanya, namun yang
menjelaskan type penulisannya adalah ahli sastra yang lain.
Nilai sebuah karya sastra itu
sendiri ditentukan oleh pilihan kata, penghubungan cerita, penokohan serta
makna yang awalnya bersifat subjektif. Hanya saja, pengarang harus memiliki
wawasan yang luas, karena menciptakan karya sastra seperti novel misalnya,
pengarang harus memahami hal ihwal sosiologi, psikologi, hukum dan agama. Karena
bagaimanapun juga, novel itu menyerupai kehidupan nyata.
Dalam hal pemilihan kata,
pengarang harus mengerti tentang kiasan. Seperti metafora, personifikasi,
hiperbola, simile dan berbagai teknik retorika yang lain. Penguasaan ini
dimaksudkan guna memberikan kepuasan terhadap penikmat karya. Bagian-bagian
yang turut membangun sebuah karya sastra akan dibahas pada bagian pendekatan
objektif.
Kemudian ilmu yang kedua adalah
ilmu konkretisasi, yaitu ilmu untuk memaknai karya sastra. Menurut Felix
Vodicka, karya sastra hanya menjadi artefak atau struktur mati, jika tidak
dimaknai. Karya sastra justru dihidupkan lewat pemaknaan pembaca. Untuk
memaknai sebuah karya sastra, dalam artian memetik hikmah dari proses pembacaan
karya sastra, kita dituntut untuk mengetahui jalan-jalan khusus untuk mendekati
makna karya tersebut.
Karya sastra, bisa didekati
maknanya dari segi kehidupan pengarangnya, bisa didekati dari segi sejarah
terciptanya karya tersebut, maksudnya adalah apa yang menyebabkan karya sastra
tersebut tercipta, kemudian dapat juga didekati dari segi penyamaan dengan
realitas dan sebagainya. Inipun akan dibahas dalam bagian pendekatan.
Intinya, manfaat belajar sastra,
agar bisa menciptakan karya sastra yang bermutu dan produktif, selain itu mampu
memaknai karya sastra, yang mana hikmah dari pembacaan tersebut dapat
diaplikasikan dalam kehidupan nyata.
Dengan belajar sastra, kita bisa
menciptakan proyektor dalam imajinasi kita, kita membaca kehidupan masa lalu,
khususnya di masa karya tersebut tercipta, ketika kita membaca suatu karya
sastra romantik, maka kita dapat menggambarkan kehidupan di zaman romantik,
karena ciri khas zaman ikut terlukis di dalam sebuah karya.
Sebagai analisator, kita tidak
hanya mapan untuk memaknai karya sastra saja, melainkan setiap bentuk teks
dapat dimaknai, misalnya memakanai ayat suci, memaknai surat, memaknai cerita
sejarah, dan sebagainya. Jelasnya mempelajari sastra itu untuk menciptakan dan
menganalisis.
Memaknai karya sastra seperti
novel, membawa berbagai manfaat yang luar biasa besar, karena di dalamnya kita
menelusuri masalah-masalah sosiologis, psikologis, hukum dan budaya, dengan
demikian disiplin-disiplin ilmu diatas secara tidak langsung dapat dipelajari.
1.4. Bahasa Sebagai Medium
Ekspresi Sastra
Bahasa adalah sistem tanda, atau
disebut semiotik dalam istilah linguistik. Konsep semiotik adalah konsep dari
Ferdinand De Sausurre. Konsep ini menjelaskan fungsi bahasa untuk memberikan
rujukan kepada kita tentang sesuatu di dalam realitas.
Kita menyebut sesuatu benda dengan
sebuah nama atau sebutan, merupakan suatu kreasi kultural, suatu kebiasaan.
Jika kita sebut sebuah nama benda sesuai dengan kebiasaan kita, kepada
seseorang yang kebiasaannya berbeda dalam menyebut nama benda tersebut, maka
otomatis orang tersebut tidak akan mendapatkan rujukan apa-apa dalam
pikirannya, yang ada hanya tanda tanya saja.
Bahasa ini sangat fleksibel,
segala sesuatu yang nyata di dalam dunia ini bisa dibahasakan, bisa dipahami
oleh orang yang sekebiasaan. Dengan demikian, sastra yang bermediumkan bahasa
dapat mengikutsertakan apapun yang ada dalam realitas ke dalam karya. Sastra
begitu kompleks, begitu sempurna, seorang pelukis tidak bisa menampilkan gambar
hidup dalam pikiran orang yang menatap lukisannya, sangat statis. Warnanya
tidak berubah, bahkan di dalam lukisannya dia tidak bisa memberikan suatu
proyeksi yang sempurna. Seorang musisi juga demikian, meskipun syair-syairnya
bagus, tetapi nilai keindahannya cenderung diukur dari pilihan nada. Intinya,
penikmat seolah-olah dilarang berkreatif dalam memaknainya, sangat terbatas dan
terhenti pada karya tersebut.
Tetapi sastra sangat dinamis, di
dalam karya sastra kata “merah” langsung memberikan gambaran warna merah dalam
kenyataannya, sehingga memberikan peluang kepada pembaca seluas-luasnya untuk
berkreatif dalam pengembaraannya (pembacaannya). Inilah sastra bermediakan
bahasa sebagai sarana ekspresinya, begitu dinamis, begitu lunak untuk dicerna,
sangat jelas.
Bahasa tulis dan bahasa lisan
pada hakikatnya tidak ada perbedaan, bahasa tulis hanyalah bahasa lisan yang
diabadikan. Orang menulis
karena ingin menjaga orisinalitas karya dan karena ingin menyebarkan karyanya.
Tetapi resiko masing-masing jenisnya berbeda, pada bahasa tulisan, ditakuti
terjadinya kerusakan naskah, kehilangan dan kekeliruan kopy. Oleh karenanya ada
salah satu disiplin ilmu yang disebut tekstologi; ilmu ini khusus untuk mencari
keaslian naskah yang telah mengalami perubahan-perubahan baik yang disengaja
maupun yang tidak disengaja.
Pada bahasa lisan, sangat besar peluangnya untuk mengalami perubahan.
Budaya tutur misalnya, cerita-cerita yang disampaikan secara turun temurun atau
disebut sastra lisan, sering mengalami perubahan gaya penyampaian. Para penutur
biasanya memodifikasi teknik penyampaiannya agar mudah dipahami, lebih indah
dan lebih khas.Dari segi interaksinya juga terdapat perbedaan, dalam proses
penikmatan sastra secara lisan, penuturnya memiliki ciri khas cerita yang unik,
roman wajah yang agak tegang ketika ceritanya sampai pada klimaks, gerakan
tangan dan intonasi turut menuntun perasaan dan pemikiran penikmat atau
pendengar. Dalam proses ini, peluang tafsiran terhadap penuturan itu sangat
terbatas, karena setiap scene-nya hanya disebut sekali saja. Dalam proses ini
juga pendengar diberikan kesempatan untuk bertanya dan sebagainya.
Sedangkan dalam bahasa tulisan,
ciri khas penulis tercermin pada gaya berceritanya, tetapi itupun masih sangat
blur. Pembacaannya bisa berulang-ulang, pilihan waktu terserah pada pembaca,
dan peluang tafsiran terhadap teks juga sangat besar dan tidak terbatas, tetapi
keterikatan dengan penulis sangat terbatas, tidak ada interaksi langsung.
Proses pembacaannya bisa berulang kali agar dapat dipahami lebih dalam dan
sebagainya.
Inilah perbedaannya, tetapi pada
fungsinya sama saja, yaitu sebagai media untuk berekspresi. Bahasa adalah
satu-satunya sarana komunikasi seni secara langsung maupun tidak langsung yang
sangat dinamis, utamanya bagi sesama pengguna bahasa yang sama.
Setiap orang memiliki ciri khas
berbahasa yang berbeda, atau dapat dikatakan bahwa kepribadian seseorang dapat
terbaca lewat bahasanya. Bahasa juga merupakan wakil dari jutaan manusia,
misalnya kita menyebut bahasa Inggris, sebenarnya yang kita sebut itu adalah
lambang sosial yang mengikat jutaan manusia yang menggunakan bahasa tersebut.
Bahasa memiliki kekuatan pemersatu dan pembeda, di suatu tempat, kita akan
merasa akrab dengan pengguna bahasa yang sama, sebaliknya kita juga merasa
berbeda jika berada disekitar pengguna bahasa yang berbeda. Terlepas dari
hal-hal tersebut, bahasa sebagai media ekspresi sastra memuat pemikiran penulis
atau sastrawan, disampaikan kepada pembaca atau penikmat. Secara pragmatis
pembaca kemudian memaknainya sesuai dengan pengalaman dan pengetahuannya.
1.5. Novel
Novel, adalah suatu karya sastra
yang berupa cerita panjang (kronologi). Menceritakan suatu kejadian, baik yang
terjadi maupun hanya rekayasa. Novel disebut karya sastra yang sangat
menyerupai kenyataan dalam kehidupan. Novel modern adalah versi baru dari epik
(karya sastra yang menceritakan tentang kepahlawanan). Karya seperti epik dan
sebagainya merupakan karya-karya besar di zaman klasik atau romantik.
Pada dasarnya keinginan menulis
itu bersumber dari hasrat ingin bercerita, ingin berbagi, entah itu pengalaman,
pengetahuan dan sebagainya. Seorang novelis menciptakan karyanya, kemungkinan
dipengaruhi oleh keinginan-keinginan pribadi yang subjektif (tidak terbaca
secara ideal), namun intensi kreator dapat terbaca lewat pilihan kata yang
dipergunakannya bahkan korelasi dengan aspek sejarah dan fenomena yang terjadi
di masa terciptanya karya tersebut, kita bisa mengetahuinya lewat studi
biogarfi.
Makna sebuah novel, dan semua
karya sastra pada umumnya tidak dapat ditemukan dengan penelitian secara
parsial (terpisah atau dengan meneliti bagian tertentu saja dalam sebuah
novel), akan tetapi makna sebuah novel atau karya hanya bisa terbaca lewat
pembacaan secara komprehensif, mendalam, terserapi dan terhayati.
Menurut Lucian Goldmann, karya
sastra novel (saya lebih senang menyebut novel sebagai karya sastra mimesis)
terdiri dari anasir intrinsik yang berupa jalinan struktur yang membangunnya,
struktur tersebut tidak mungkin berubah satupun terkecuali akan merubah segenap
sistem di dalamnya, artinya salah satu unsur jika berubah maka akan mengacaukan
atau merubah unsur-unsur yang lain. (lihat bagian pendekatan strukturalisme
murni).
Pembacaan karya sastra seperti
novel, harus mengandaikan novel sebagai model dari realitas. Dengan demikian
rasa keterlibatan bisa dominan dalam proses pembacaan. Salah satu hal yang
harus benar-benar diperhatikan adalah eksistensi pengarang di dalam karyanya.
Cara yang sangat sederhana untuk
mencapai keberhasilan konkretisasi dalam pembacaan karya sastra adalah dengan
memodelkan karya sastra sebagai kenyataan, kemudian mengarungi kenyataan atau
semesta imajiner tersebut bersama pengarang. Biarkan pengarang yang menuntun
pengembaraan pikiran dan imajinasi kita, tuntunan pengarang itu terletak pada
susunan kalimat, setiap kalimat yang terbaca memberikan referensi kepada
imajinasi kita, membuat kita berada di dalam model kenyataan tersebut.
Roland Barthes mengatakan bahwa
proses pembacaan yang berhasil adalah dengan menghilangkan subjek kreator dan
fokus terhadap karya. Konsep ini didalam ilmu sastra disebut depersonalisasi.
Juhl dan Gomperts sangat membantah yang disebut depersonalisasi itu.
Menurut mereka, depersonalisasi
mengorbankan ciri khas pengarang, melepaskan karya dengan relevansi
sosio-kulturalnya, Gomperts sangat menentang apa yang disebut depersonalisasi.
Bagi beliau, mana mungkin sebuah teks tercipta tanpa ada penulis. Tak ada
sebuah teks pun tanpa titik aku, yaitu personal dibalik teks (implied personal)
teks tercipta oleh manusia yang hidup dalam karyanya meskipun telah meninggal
dunia ribuan tahun silam.
Namun kehidupannya dan gagasan
yang unik terkandung utuh dalam karyanya. Otomatis peneliti juga sadar jika
teks tersebut tercipta atas intensi penulis, maksud dan tujuan penulis. Setiap
gagasan yang mengalir ke jemari, mengukir kata dengan mata pena tak ada yang
tak bermakna. Sekedar corat-coret diatas kertas saja memiliki arti yang
mewakili isi kepala. Jika kita mengabaikan aspek pengarang, maka bagaimana kita
bisa merasa terlibat dengan karya tersebut?.
Nah bagaimana kita bisa membaur
dengan karya tersebut jikalau aspek pengarangnya kita lepas, hilang korelasi
batiniah antara kita dengan pengarang, makna karya sastra sebagai sarana
komunikasi pun turut lenyap, karya sastra menjadi barang antik yang ditemukan,
bukan suatu fasilitas komunikasi yang istimewa lagi, saya pun tidak sepakat
dengan konsep depersonalisasi ini.
Novel berbeda dengan karya sastra
yang lain, susunannya lebih kompleks, teknik untuk menelitinya juga beragam.
Novel tidak jauh berbeda dengan drama, perbedaan antara novel dan drama hanya
dari teknik penulisan dialognya. Unsur-unsur lain antara novel dan drama adalah
sama. Novel dan drama memiliki gaya bercerita yang tertentu, ada kalanya jalur
cerita atau plotnya dari awal, tengah kemudian akhir, ada pula yang tengah,
balik ke awal lalu akhir. Ini tergantung pada keinginan pengarangnya sendiri
ini termasuk teknik penulisan.
Novel dan karya sastra pada
umumnya tercipta oleh orang-orang yang berbakat seni, kecenderungan untuk
bersastra, tidak mesti harus di dapati lewat penekuknan terhadap disiplin ilmu
tertentu, tetapi bisa juga karena kebiasaan. Biasanya sensitifitas seseorang
membuat dirinya cepat larut dalam situasi emosional dan passional yang selalu
dominan dalam proses penciptaan karya sastra. Dan kemampuan itu dimiliki setiap
orang, namun kadar sensitifitas orang berbeda-beda.
Selain itu, kemampuan nalar yang
mapan juga dibutuhkan dalam penciptaan karya yang bermutu dan bernilai estetika
tinggi. Dalam novel, terdapat jalinan antar aspek yang begitu ruwet, psikologi
karakter digambarkan begitu jelas oleh pengarang, bahkan kausalitas dan
konsekwensi setiap aksi diciptakan secara rasional dan logis. Seorang novelis
pada gilirannya nampak seperti seorang sosiolog, seorang psikolog, seorang ahli
hukum atu ahli agama.
Inilah novel sebagai karya sastra
mimesis dengan segala kompleksitasnya. Mengenai mimesis ini akan dibahas dalam
bagian pendekatan.
1.6. Puisi
Puisi, adalah karya sastra
ekspresif. Hasil ekspresi penulis atas dasar pengalaman dan keprihatinan suatu
kondisi. Atau bisa juga puisi atau karya sastra lain diciptakan dengan alasan
mengabadikan suatu keadaan. Alasan yang terakhir ini kerap kali menjadikan
karya sastra sebagai dokumen budaya.
Berikut ini akan saya paparkan
beberapa teori pakar sastra yang mencoba merumuskan definisi puisi ini.
Definisi-definisi ini dikutip dari buku Pengkajian Puisi oleh DR. Rahmat Djoko
Pradopo, namun sejatinya definisi-definisi ini dikumpulkan oleh Shahnon Ahmad :
1. Samuel Taylor Coleridge: Puisi
itu adalah kata-kata yang terindah dalam susunan terindah, penyair memilih
kata-kata yang setepatnya dan disusun secara sebaik-baiknya, misalnya seimbang,
simetris, antar satu unsur dengan unsur yang lainnya sangat erat berhubungan.
2. Carlyle: Puisi merupakan
pemikiran yang bersifat musikal, penyair dalam menciptakan puisi itu memikirkan
bunyi yang merdu seperti musik dalam puisinya, kata-kata disusun begitu rupa
hingga yang menonjol adalah rangkaian bunyinya yang merdu seperti musik, yaitu
dengan mempergunakan orkestra bunyi.
3. Wordsworth: Puisi adalah
pernyataan perasaan yangbersifat imajinatif, yaitu perasaan yang direkakan atau
diangankan.
4. Auden: Puisi itu adalah
pernyataan perasaan yang bercampur-baur.
5. Dunton: Puisi itu pemikiran
manusia secara konkret dan artistik dalam bahasa emosional serta berirama.
6. Shelley: Puisi adalah rekaman
detik-detik yang paling indah dalam hidup kita.
Beberapa definisi di atas
mengemukakan perbedaan-perbedaan ideologi yang semestinya terpadukan demi
mendapatkan definisi puisi yang ideal. Puisi itu sendiri terdiri dari berbagai
anasir seperti emosi, imajinasi, pemikiran, ideologi, nada, irama, kesan
indrawi, susunan kata. Kiasan-kiasan, kepadatan dan perasaan yang
bercampur-baur.
Puisi atau karya sastra yang
lain, senantiasa merupakan gambaran keadaan suatu masa di mana karya sastra
tersebut diciptakan oleh penyair.
Lewat penafsiran karya sastra
maka orang bisa mengetahui keadaan pada zaman di mana karya tersebut
diciptakan, karena ciri khas zaman bisa dilihat dari gambaran tokoh dalam
karya, atribut tokoh (pakaian, gaya bahasa), atmosfir dan sebagainya. Oleh
karenanya, penelitian sastra tidak boleh melepaskan relasi ekstrinsik dari
karya tersebut.
Puisi, memiliki struktur
pembangun yang berbeda dengan novel dan drama. Dalam penciptaannya, puisi
ditulis sebagai ekspresi, dengan pilihan kata yang metaforis dan simbolis.
Puisi seringkali mengagungkan manusia, kadang mencampakkan jati diri juga.
Kalimat-kalimat dalam puisi harus memiliki kaitan tidak hanya pada arti saja
melainkan harus ada persamaan bunyi, oleh karenanya dalam penulisan puisi
dituntut untuk menguasai persamaan kata dan arti (oleh karenanya dalam studi
sastra terdapat Linguistik dan sub-ilmunya).
Arti yang sama bisa digunakan
kata yang berbeda bunyi, arti yang berbeda namun berhubungan sering kali
digunakan kata yang berbunyi mirip. Biasanya hal ini kita dapati dalam pantun.
Namun pada umumnya, nilai keindahan suatu puisi dinilai pada kemampuan
pengarang untuk menggambarkan suatu kenyataan yang utuh dalam keseluruhan
puisinya, namun menggunakan bahasa-bahasa kiasan. Kadang kala pengarang
menggunakan atribut kebinatangan untuk mewakili karakter manusia yang kurang
baik atau buruk. Adakalanya penulis juga memuja manusia lain di dalam puisinya
dengan menggunakan persamaan sifat. Misalnya wajah yang bercahaya, disifati dengan
bulan purnama dan lain-lain.
Suatu puisi akan bernilai jika
puisi tersebut bisa memberikan sentuhan yang berkesan dalam hati pembaca atau
pendengar, untuk itu pembacaan puisi harus disertai dengan berbagai ekspresi
wajah, intonasi dan gerak tubuh. Sebagai simbolisasi konkret dari perasaan.
Oleh karenanya J. Elema mengatakan bahwa karya sastra tidak bernilai jika tidak
meliputi keutuhan jiwa. Saya mengartikan keutuhan jiwa ini dengan dua hal;
Yang pertama, puisi tersebut
harus meliputi keutuhan jiwa pengarang. Artinya ciri khas pengarang, perasaan
pengarang dan niat pengarang harus benar-benar tergambar secara jelas mengingat
puisi adalah karya sastra ekspresif.
Yang kedua, puisi tersebut harus
memiliki magnetisme untuk menarik jiwa pendengar dan pembaca agar fana’ atau
larut dalam puisi tersebut, sehingga bisa memahami makna puisi serta terdapat
kesan yang berbekas pada psikis sebagai hasil pemuasan estetis.
Aslinya, konsep keutuhan milik J.
Elema ini diterangkan oleh Subagio Sastrowardoyo sebagai lima tingkatan jiwa
manusia dalam menciptakan karya sastra. Lima tingkatan jiwa ini adalah sebagai
berikut :
Niveau anorganis : pada tingkatan
niveau anorganis karya sastera itu berbentuk formal seperti pola bunyi,
kalimat, gaya bahasa dan lain-lain.
Niveau vegetatif : pada tingkatan
niveau vegetatif karya sastera itu menghadirkan suasana psikologis seperti
romantis, mengerikan, marah dan menangis.
Niveau animal : pada tingkatan
niveau animal menghadirkan hasrat-hasrat kebinatangan seperti rakus, birahi,
membunuh.
Niveau human : pada tingkatan
niveau human karya sastera menghasilkan renungan-renungan bathin, rasa belas
kasihan, rasa simpati dan pengalaman-pengalaman lain yang dirasakan oleh
manusia.
Niveau religius : pada tingkatan
niveau religius karya sastera menghadirkan renungan-renungan mengenai Tuhan,
pengalaman mistik, dan renungan-renungan lain yang sampai pada hakikat.
Menilik kutipan di atas, maka
saya menarik kesimpulan bahwa yang dimaksud oleh J. Elema dengan keutuhan jiwa
adalah tingkat kemampuan pengarang untuk menciptakan dunia puisinya sedemikian
rupa, sehingga bisa memberikan kepuasan tertentu kepada audens. Bagaimana karya
sastra hadir membawa atmosfir yang sempurna dan magnetis, menarik jiwa pembaca
hingga larut dalam puisi tersebut. Artinya pendengar atau pembaca merasa
terlibat secara emosional atau psikologis.
Perlu saya tekankan bahwa kita
tidak berbicara jenis sastra atau jenis karya sastra tertentu, tetapi kita
memandang sastra sebagai suatu kesatuan yang utuh. Permasalahannya akan lain jika kita mengaitkan
dengan jenis sastra tertentu. Dalam makalah ini, kita berbicara mengenai sastra
secara umum.
Kita melanjutkan pembahasan puisi
kita….
Kahlil Gibran, adalah seorang
sastrawan besar yang dipandang paling berhasil khususnya di belahan dunia bagian
Timur Tengah (Libanon). Karya-karyanya berada di antara kubu puisi dan novel
atau drama. Bukan puisi karena gaya penulisannya tidak perbait, bukan novel
karena plotnya tidak beraturan. Tetapi karyanya adalah puisi, novel sekaligus
resital (ungkapan).
Dia menulis nasehat-nasehat
kehidupan, ciri khas sastranya terlihat pada penggunaan bahasanya yang
metaforis, simbolis dan penuh makna kreatorial yang tersirat.
Niat kreator biasanya tersirat
dari penggunaan atau pilihan kata dalam karyanya. Sebagai pembaca sastra, atau
kritikus, peneliti atau apalah namanya, kita harus ingat satu hal. Karya sastra
adalah benda bertuan, dalam menilai dan memaknainya, kita boleh berkreatif
semampu dan semau kita, akan tetapi kita tidak boleh mengklaim bahwa kesimpulan
yang kita dapatkan adalah makna ideal dan niat tunggal kreator. Karena kita
hanya berusaha untuk memaknainya kembali, kita hanya menfasirkannya kembali,
yang dalam istilah saya disebut Exegesis Process. Makna ideal karya hanya
ditentukan oleh pengarangnya saja.
Kita tidak bisa menjudge bentuk
sebuah karya dengan mengatakan “kamu tidak boleh menulis dengan cara ini”, “dia
tidak boleh menggunakan kata ini” dan sebagainya, karena makna ideal suatu
karya hanya pengarangnya saja yang tahu. Itu termasuk rahasia kreator,
sedangkan pembaca hanya berusaha menafsirkan atau memaknai kembali.
1.7. Relevansi Sastra Dan Sosiologi
1.7. Relevansi Sastra Dan Sosiologi
Kita sama-sama mengetahui arti
sastra sebagai salah satu chanel ekspresi seni, yaitu lewat bahasa. Sedangkan
menurut arti katanya, sosiologi berasal dari kata Socius yang artinya manusia
secara kolektif dan Logos yang artinya ilmu. Sehingga dapatlah kita ambil
kesimpulan bahwa sosiologi artinya ilmu yang mempelajari tentang masyarakat.
Kedua disiplin ilmu ini, sastra
dan sosiologi, memiliki objek yang sama, yakni manusia. Sedangkan perbedaan
keduanya adalah bahwa sosiologi mempelajari realita masyarakat sedangkan sastra
cenderung fiktif-imajinatif. Sehingga sosiologi dan sastra secara paralel dapat
terbaca sebagai fakta dan fiksi.
Meskipun demikian, fiksi sastra
hanya merupakan cara dalam mengekspresikan seni yang bernilai, hal itu sama
sekali tidak merubah suatu kenyataan. Misalnya seorang novelis menulis sebuah
kisah tentang tragedi yang dialaminya di suatu tempat. Teknik menulisnya yang
fiktif tidak merubah kenyataan dalam keadaannya, yang ada adalah novelis
tersebut berusaha untuk mengimajinasikan realitas dan pada gilirannya imajinasi
tersebut direalisasikan lewat penggunaan bahasa yang istimewa, guna mewakili
imagenya.
Sehingga dapat dikatakan bahwa fiksi
sastra tidak merubah fakta sosial. Perubahan paradigma berpikir pembaca tentang
suatu fakta sosial yang diimajinasikan dalam sebuah karya sastra merupakan
suatu dinamika yang pragmatis. Tuduhan-tuduhan bahwa sastrawan mencoba mengubah
suatu realita masyarakat di suatu zaman tertentu melalui karyanya, merupakan
tuduhan yang sama sekali tidak beralasan, karena sastrawan menceritakan fakta
sosial lewat jalur fiksi.
Jalur fiksi yang saya maksudkan
pasti sudah bisa dimengerti dengan baik, bahwa sesuatu yang benar-benar ada
secara konkret, disifati dalam karya sastra sebagai suatu abstraksi. Yang
menjadi titik pengamatan, hendaknya bukan benda yang disifati, tetapi sifat
dari pada benda (dalam karya) yang mewakili objek (yang ada dalam kenyataan).
Sehingga dapat dikatakan bahwa
fakta sosial diimajinasikan dan disifati dengan segala objek lain yang sifatnya
sama. Inilah yang saya maksudkan dengan jalur fiksi.
Sebagai contoh, ada penggalan
puisi yang berbunyi:
Gita…Wajahmu indah bercahaya
laksana bulan purnama
Bersinar terang, terangi hatiku
mesti kabut menyelimuti sebagian
wajahmu
Dari penggalan puisi di atas,
dapat dilihat bahwa wajah ‘Gita’ disifati seperti sifat bulan, yang terang dan
bercahaya. Bukan bulan purnama secara fisik, tetapi sifat. Wajah Gita tidak
tertutup kabut secara fisik, tetapi sifat dari kabut sebagai ‘penghalang’
disifati sebagai kendala untuk bisa mendapatkan Gita, dan sebagainya. Ini yang
saya maksudkan dengan mengimajinasikan realitas lewat jalur fiktif. Saya
memahami fiktif sebagai abstraksi, rekayasa, visualisasi atau pembayangan.
Relevansi atau keterkaitan antara
sosiologi dan sastra terletak pada aspek kemasyarakatan, latar belakang
historis. Dalam karya sastra Hindia Belanda, misalnya dari roman-roman yang
ditulis oleh Maurits (1850-1898), kita dapat mengetahui bagaimana iklim
Indonesia, kepercayaan dan adat istiadat yang berpengaruh pada tingkah laku
orang Belanda di masa kolonial mereka, tata-cara susila, dan cara bergaul di
dalam masyarakat pada waktu itu, peranan sebagai perubah struktur masyarakat,
manfaat sastra dalam perkembangan masyarakat, keterlibatan pengarang sebagai
komponen masyarakat, kaitan dengan sikap masyarakat pembaca. Dengan demikian,
relevansi segi tiga antara sosiologi dan sastra adalah Pengarang, Karya dan Masyarakat
pembaca.
Pengarang atau sastrawan sebagai
komponen masyarakat yang terlibat secara langsung dalam proses dan fenomena
sosial menciptakan karya sastra sebagai reflektor dari kondisi sosial pada masa
itu, masyarakat pembaca merupakan objek yang sekaligus subjek, maksudnya adalah
masyarakat bercermin terhadap karya tersebut. Maka tak heran jika karya sastra
seringkali mengakibatkan suatu gelombang gerakan yang cukup berarti. Misalkan
suatu karya sastra yang sifatnya provokatif dan sebagainya.
1.8. Relevansi Sastra dan
Psikologi
Sebagaimana Sosiologi Sastra,
Psikologi Sastra juga memiliki objek yang sama, yakni manifestasi manusia.
Psikologi, ilmu yang mempelajari sifat manusia. Tetapi psikologi dalam sastra
hanya merupakan pinjaman saja. Psikologi sastra bisa disebut aspek psikis yang
terkait dengan karya sastra. Baik itu psikologi pengarang, psikologi tokoh dan
psikologi pembaca. Perbedaannya dengan Sosiologi Sastra, Sosiologi Sastra
menyoroti manusia secara kolektif, sedangkan Psikologi Sastra menyororti
manusia secara personal.
Teori Sigmon Freud (via Kutha
Ratna. 2003:13) menyebutkan bahwa karya seni merupakan manivestasi introver dan
neurosis (aktivitas syaraf), sebagai manusia yang tidak bisa menerima kenyataan
sehari-hari.
Saya berpikir bahwa Freud memaksudkan
pengalaman manusia yang bersifat psikis terjelma dalam suatu kreatifitas
menjadi karya seni, namun bukan hanya tidak bisa menerima kenyataan yang pahit
saja, karena banyak karya sastra yang bercerita tentang keindahan, kebahagiaan
dan kepuasan.
Teori Freud ini agak relevan
dengan yang dijelaskan oleh Subagyo Sastrowardoyo. Subagio mengisahkan kembali
isi roman Louis Couperus, De Stille Kracht (Ilmu Ghaib) yang terbit kira-kira
ditahun 1900. Di dalam kisah ini, ada tokoh yang bernama Eva Eldersma hampir
putus asa menyaksikan segala sesuatu yang dimilikinya menjadi rusak, bajunya,
lambat laun hancur. Timbul keinginan untuk melepaskan apa saja, juga
kebiasaannya akan kebersihan diri. “Hari demi hari, ada saja yang membusuk,
ketumbuhan jamur dan berkarat”.
Seorang penulis Hindia Belanda
Bas Veth, menulis kecaman dan merefleksikan tekanan psikisnya ke dalam tulisan
yang panjangnya dua ratus lima puluh lima halaman. Sepanjang bukunya itu, Bas
Veth memaki-maki keadaan diseputarnya. Salah satu kalimatnya adalah seperti di
bawah ini:
“Hindia Belanda bagi saya adalah
penjelmaan kesengsaraan. Waktu dua belas tahun yang saya lewatkan hidup saya di
daerah-daerah pengasingan ini bagi saya merupakan dua belas impian yang
mengerikan…”
“Tiada suatu pun yang menyenangkan
disini, segala sesuatu serba menekan”.
Tekanan psikologis yang
disebabkan oleh lingkungan sekitar menyebabkan sastrawan menciptakan karya
mereka, yang mana di dalam karya mereka itu tertuang segala unek-unek yang
selalu bertendang di dalam benak mereka.
Saya telah menyebut istilah
Sastra Hindia Belanda, sesungguhnya yang dimaksud dengan sastra Hindia Belanda
adalah karya sastra yang tercipta oleh tangan-tangan penulis blasteran
Belanda-Indonesia, atau disebut Indo. Disebut sastra Hindia Belanda karena tercipta di antara gejolak
psiko-sosial Indonesia dan Belanda. Pada dasarnya karya sastra ini ditulis dalam bahasa Belanda dan berpokok
pada kehidupan di negeri jajahan Hindia Belanda. Ada juga yang penulisnya orang
Belanda asli, keturunan Eropa bahkan ada juga dua-tiga penulis Indonesia yang
karya mereka termasuk kategori sastra Hindia Belanda, seperti Soewarsih
Djojopoespito dan Noto Soeroto.
Kemudian psikologi tokoh.
Psikologi tokoh yang terdapat dalam semesta karya sastra, tidak terlepas dari
psikologi pengarang. Maksudnya, pengarang seringkali bersembunyi di balik tokoh
untuk mengurai suasana psikologinya.
Namun karya sastra seperti novel
atau roman, memiliki lebih dari satu tokoh, otomatis penyediaan watak
psikologis harus lebih dari satu, maka kadang-kadang pengarang sering menjadi
ambivalen dalam penulisannya. Namun di sisi lain, pengarang juga mengambil
contoh watak manusia riil (manusia lain) dan dimasukkan ke dalam karyanya. Yang
terakhir adalah psikologi pembaca. Bagaimana pengaruh psikis yang dialami oleh
pembaca ketika menikmati karya sastra. Maka intinya, relevansi sastra dan
psikologi terdapat dalam proses penciptaan karya, semesta karya dan proses
pembacaan karya.
1.9. Relevansi Sastra dan Moral
1.9. Relevansi Sastra dan Moral
Dalam bagian terdepan telah saya
sampaikan bahwa di dalam sastra terkandung edukasi, etika dan estetika. Aspek
etika dalam karya sastra, contohnya roman atau novel, terletak pada
prilaku-prilaku tokoh yang dipersembahkan oleh pengarang. Masing-masing tokoh
dibekali karakter dan karakter membentuk prilaku tokoh, tetapi aksi tokoh dalam
sebuah situasi tidak terikat pada watak, tetapi tindakan. Suatu tindakan yang
menyebabkan pengaruh, bukan watak.
Dalam sebuah roman atau novel,
tak jarang tokoh dibawa ke dalam suatu situasi dimana dia harus melakukan suatu
tindakan meskipun bertentangan dengan wataknya. Nah kita lihat apa yang terjadi
dengan tokoh tersebut, apa pengaruh yang diakibatkan, apa konsekwensinya
terutama hubungan kausalitas antara penyebab tindakan tokoh dan akibat tindakan
tokoh. Di sinilah kita lihat
ada unsur “moral tokoh” secara terpisah dengan “moral tema cerita”.
Mengapa saya katakan demikian?
Marilah kita lihat persoalan moral ini. Menurut Immanuel Kant, yang disebut
dengan “Moral” adalah prinsip tentang perbuatan baik dan buruk, atau pertimbangan
tentang keduanya. Moralitas itu sendiri adalah kesetiaan terhadap sikap bathin
(inmost attitude), bukan hanya sekedar ajusmen (penyesuaian) dengan hukum yang
berlaku. Dengan menilik ungkapan Immanuel Kant yang dijelaskan oleh Frans
Magnis Suseno dalam Filsafat-Kebudayaan-Politik: Butir-butir Pemikiran Kritis,
maka kita melihat tokoh-tokoh harus setia terhadap sikap bathin mereka, namun
bagaimanakah kita mengukurnya? Sedangkan hanya pengarang sendiri yang
mengetahuinya, karena tokoh tersebut diciptakan oleh pengarang cerita tersebut.
Kita bisa mendekatinya lewat
hubungan prilaku atau tindakan antar-tokoh dalam kisah tersebut. Bukankah arti
moral adalah pemikiran atau pertimbangan tentang kebaikan dan keburukan? Atas
pemahaman akan kedua hakikat perbuatan (baik dan buruk) inilah manusia
melakukan perbuatan. Dan perbuatan atau prilaku manusia tersebutlah yang
menjadi indikator, dengan itu kita mengukur kualitas moral manusia tersebut.
Menurut Nurgiyantoro bahwa
sastrawan menciptakan karyanya salah satu tujuannya adalah untuk menampilkan
model kehidupan yang diidealkan oleh setiap manusia, dan ditampilkan lewat para
tokoh. Sastrawan menawarkan
sifat dan sikap luhur kemanusiaan, perjuangan hak dan martabat dan sebagainya.
Pesan moral merupakan sesuatu yang ingin disampaikan oleh sastrawan kepada
pembaca.
Saya menyebut pesan moral sebagai
implied value yang telah ditarik sebagai hikmah dari pembacaan karya sastra.
Pembacaan yang berhasil adalah pembacaan yang membuahkan nilai moral, yang bisa
memberikan kita didikan tertentu dalam hal berprilaku, karena bagi saya moral
itu adalah jawaban dari pertanyaan ”bagaimanakah kita harus berprilaku di
hadapan manusia lain di dalam kehidupan ini”. Bagaimana kita harus bertindak
berdasarkan kesadaran penuh bahwa ”inilah yang harus aku lakukan”. Hukum moral
pada akhirnya menjadi suatu ajaran yang terukir dalam kesadaran manusia.
Moral dalam karya sastra
ditunjukkan oleh sastrawan lewat prilaku dan tindakan-tindakan tokoh pelaksana
cerita. Sebagai pembaca, kita berhak menilai atau mengukur kualitas moral
tokoh, tetapi bukan itu inti dari pembacaan cerita, inti dari pembacaan cerita
adalah ”ilmu”, bagaimana kita mendapatkan pelajaran tentang akibat dari prilaku
dan perbuatan. Apa yang seharusnya kita lakukan dan tidak seharusnya kita
lakukan jika kita mengalami hal yang sama dengan tokoh cerita termasuk faedah
dari pembacaan karya sastra.
Dalam sebuah roman atau novel,
tidak mungkin ada pesan moral tunggal, pesan moral bisa dilihat dari tema,
tetapi tema bukanlah pesan moral. Jika tema ditentukan oleh pengarang, maka
pesan moral ditarik oleh pembaca tanpa ada interupsi pengarang. Namun tema juga
bisa dipilih oleh pembaca, proses pemilihan tema cerita dan penarikan pesan
moral sama-sama melalui pembacaan dan penafsiran cerita.
Pembacaan karya sastra adalah sama dengan kita menatap bola bumi dari segala
segi. Kita punya seribu mata untuk melihat kejadian yang tidak terlihat tokoh
yang mengalami kejadian dalam cerita tersebut. Maka kita bisa melihat, tindakan
tokoh ini akan menyebabkan akibat bagi tokoh ini, atau untuk dirinya sendiri.
Jika tokoh di dalam cerita tersebut menampilkan prilaku-prilaku yang tidak
terpuji, itu bukan berarti kita harus atau boleh menirunya, tetapi kita harus
mengambil hikmah dari prilaku tidak terpuji tersebut.
Ada kaitan antara moral dalam
karya sastra dengan moral sebagai tata-susila masyarakat. Biasanya sastrawan
realisme-sosialis melukiskan keadaan sekitar contohnya moralitas masyarakat
yang sudah bobrok kedalam ceritanya, kemudian menghubungkan dengan korban-korban
prilaku masyarakat yang moralitas mereka sudah bobrok itu.
Dalam segi lain, suatu karya
sastra yang menampilkan tipe hukum moral yang bertentangan dengan tipe hukum
moral dalam suatu tatanan susila masyarakat pembaca, maka akan timbul kritikan,
protesan dan bahkan gerakan destruktif yang diarahkan terutama kepada sastrawan
yang bersangkutan, karena karyanya dianggap merongrong tata-susila yang telah
berdiri tegak dalam budaya masyarakat tersebut berabad-abad lamanya.
BAB II
4 PENDEKATAN RUMUSAN ABRAMS
Pendekatan adalah metodologi
untuk mendekati sebuah karya sastra, Abrams merumuskan empat pendekatan yang
cukup signifikan dalam penelitian karya sastra. Keempat pendekatan tersebut
antara lain adalah sebagai berikut:
2.1. Pendekatan Objektif
Pendekatan Objektif adalah pendekatan yang
menitikberatkan karya sastra yang bersangkutan, bukan pengarang dan bukan
pembaca. Pendekatan ini mengabaikan unsur-unsur ekstrinsik karya tersebut;
misalnya intensi pengarang, bahkan pengetahuan empiris pembaca. Penelitian
dengan menggunakan pendekatan objektif ini hanya menekankan unsur-unsur
intrinsik pembangun karya tersebut. Karya sastra terbagi dalam beberapa bentuk;
Roman atau Novel, Puisi, Drama dan Essay. Dalam penelitian terhadap keseluruhan
fiksi tersebut dapat menggunakan pendekatan objektif.
Pendekatan
rumusan Abrams ini memandang karya sastra bersifat otonom. Karya sastra dapat
diteliti secara struktural tanpa adanya korelasi denganhal-hal diluar dirinya,
termasuk sejarahnya dan biografi penulisnya, termasuk relevansi sosiologis dan
psikologis penulis dan pembaca.
Struktur
adalah sebuah bangunan yang terdiri atas berbagai unsur yang satu sama lainnya
berkaitan. Dengan demikian, setiap perubahan yang terjadi pada sebuah unsur
struktur akan mengakibatkan hubungan antarunsur menjadi berubah pula
unsur-unsur pembentuk struktur masing-masing karya sastra itu berbeda. Novel
atau Roman sebagai karya sastra terbesar dalam bentuk memiliki unsur-unsur
pembentuk yang cukup kompleks.
Salah
satu bentuk pendekatan objektif adalah pendekatan struktur murni. Pendekatan
yang berfokus pada unsur-unsur konstruksi karya sastra dan sama sekali tidak
melibatkan unsur-unsur luaran, yang jika diteliti sama sekali berhubungan.
Malahan unsur-unsur itu terbentuk sebagai kulit luar, sedangkan isi dari
unsur-unsur itu adalah ideologi pengarang yang jelas terbentuk melalui
pengalaman empiriknya.
Unsur-unsur intrinsik karya
sastra dapat dibagi sebagai berikut:
2.1.1. Novel dan Roman
Menurut Lucian Goldmann
unsur-unsur pembentuk roman antara lain adalah sebagai beikut:
1. Tema; Tema adalah akar cerita
atau gagasan utama yang sekaligus memaknai keseluruhain isi cerita.
2. Plot; Plot adalah alur cerita, alur yang menjadi mengembang cerita
(development of story)
3. Garis Edar; Garis Edar (Path) adalah alur kecil yang fungsinya
mempertemukan para tokoh (figure).
4. Seting; Seting atau latar tempat dimana para figur melaksanakan tugasnya
dalam rangka keseluruhan cerita. Seting ini dibagi atas dua macam yaitu seting
geografis: tempat secara materi seperti di toko, di rumah, di kantor dan
lain-lain. Yang kedua adalah seting secara antropologis: misalnya seorang tokoh
berada disebuah lingkungan masyarakat yang memiliki (seluruh masyarakat
memiliki) ciri khas situasi sosio-budaya, moral-etika, budaya-tradisi,
pemikiran dan lain-lain.
5. Figuran; Figur atau penokohan adalah tokoh-tokoh ciptaan yang merupakan
pelaksana cerita. Figur ini dibagi atas dua, yaitu main figure (tokoh utama)
dan support figure (tokoh pendukung). Figur yang dibekali karakter baik disebut
protagonist dan yang sebaliknya disebut antagonist.
6. Sudut Pandang; Sudut Pandang (point of view) yang digunakan oleh penulis
sebagai tokoh utama. Misalnya sudut pandang orang pertama, berarti dalam roman
itu menggunakan “aku” sebagai tokoh utama, atau sudut pandang orang ketiga
“dia” atau biasa disebut dengan nama orang.
7. Atmosfer; Atmosfer adalah situasi figure. Suasana hati atau pikiran dan
perasaan atau juga keadaan sekitarnya. Contohnya ada dua orang figur bertemu
atau dipertemukan oleh penulis, karena adanya perselisihan maka terjadilah
konflik, atau justru jatuh cinta. Suasana seperti ini disebut atmosfer.
2.1.2. Puisi
Menurut Rene Wellek dan Austin Warren, unsur-unsur intrinsik yang membangun
sebuah puisi adalah sebagai berikut:
Lapis bunyi ; misalnya suara dalam kata, frase atau kalimat.
Lapis arti ; misalnya arti dalam fonem, suku kata, kata, frase atau kalimat.
Lapis objek ; misalnya objek-objek yang dikemukakan seperti latar, pelaku serta dunia penulis. Dan Ingarden menambahkan satu lapis lagi,
Lapis dunia ; melingkupi metafisika seperti sublim (keagungan), tragis dan kontemplatif.
Lapis bunyi ; misalnya suara dalam kata, frase atau kalimat.
Lapis arti ; misalnya arti dalam fonem, suku kata, kata, frase atau kalimat.
Lapis objek ; misalnya objek-objek yang dikemukakan seperti latar, pelaku serta dunia penulis. Dan Ingarden menambahkan satu lapis lagi,
Lapis dunia ; melingkupi metafisika seperti sublim (keagungan), tragis dan kontemplatif.
Penelitian dengan menggunakan pendekatan struktur murni mengabaikan anasir
ekstrinsik karya sastra yang bersangkutan. Namun para ahli sastra sepakat bahwa
pendekatan ini memiliki kelemahan-kelemahan yang sangat berpengaruh pada hasil
penelitian. Kelemahan-kelemahan pendekatan ini adalah hilangnya relevansi
sosiologis, kultural, psikologis dan historis pengarang maupun sejarah karya
yang bersangkutan. Akibatnya interpretasi karya sastra dengan menggunakan
pendekatan ini mengorbankan ciri khas, kepribadian, dan juga norma-norma yang
dipegang teguh oleh pengarang tersebut dalam kultur sosial yang tertentu.
Objektifitas suatu penafsiran karya sastra akan diragukan lagi. Karena
memberi kemungkinan lebih besar terhadap interfensi pembaca dalam penafsiran
tersebut. Oleh karenanya pertentangan terhadap pendekatan inipun dilancarkan
oleh berbagai kritikus, dan sebagai pengembangan pendekatan struktur murni
disempurnakan menjadi beberapa jenis pendekatan struktural yang tidak
mengabaikan anasir lain diluar otonomitas karya sastra yang merupakan
kekurangan pendekatan struktur murni. Disebutkan saja Strukturalisme Genetik
oleh Lucian Goldmann, Strukturalisme Dinamik oleh Jan Mukarovsky,
Strukturalisme Naratologi dan strukturalisme pengembangan yang lain.
2.2. Pendekatan Pragmatis
Pendekatan pragmatis adalah pendekatan yang
menitikberatkan pembaca sebagai penafsir. Pembaca dipengaruhi oleh karya yang
dihadapinya. Pengaruh tersebut merupakan pangkal penafsiran karya sastra. Dalam
pendekatan ini, pembaca diberikan otoritas untuk menilai sebuah karya sastra.
Menurut sejarahnya, pendekatan pragmatis ini
terungkap melalui tulisan Horatius di dalam buku Ars Poetica-nya. Horatius menyatakan
tentang tugas dan fungsi penyair;
Aut prodesse volunt aut delectare poetae
Aut simul et lucunda et idonea dicere vitae
Arti:
Tujuan penyair ialah berguna untuk memberi nikmat
ataupun sekaligus mengatakan hal-hal yang enak
dan berfaedah untuk kehidupan
Salah satu dari wujud pendekatan pragmatis ini
bisa dilihat pada teori konkretisasi-nya Felix Vodicka. Murid kesayangan Jan
Mukarovsky. Sebenarnya teori ini mulanya oleh Roman Ingarden, seorang ahli
sastra Polandia. Namun visi Ingarden sangat membatasi peran pembaca, otoritas
pembaca dibatasi oleh struktur dan batas penilaian estetik. Menurut Ingarden,
hanya ada satu konkretisasi ideal, lepas dari masa dan situasi pembaca.
Inilah
pangkal perselisihan antara Ingarden dan Vodicka. Visi Vodicka memberikan otoritas
penuh pada pembaca dengan berpegang pada prinsip bahwa karya sastra tanpa
pembaca bukanlah objek estetik, melainkan artefak, struktur mati, dan hanya
bisa dihidupkan lewat konkretisasi atau pemaknaan oleh pembaca.
Vodicka
berpendapat bahwa makna sebuah karya sastra dikonkretisasikan oleh pembaca yang
diadakan terus-menerus oleh lingkungan, waktu dan situasi yang berbeda. Pembaca
sastra tidak cukup mengupas karya sastra secara otonom , diapun harus meneliti
konteks pemberian makna oleh pembaca tertentu.
Pendekatan
ini juga memiliki prinsip bahwa didalam karya sastra terdapat tempat-tempat
tertentu yang kosong, yang harus diisi oleh pembaca yang disebut
Unbestimmtheitstellen. Pengisiannya terserah pada pembaca, menurut kemampuannya
dan seleranya. Tempat-tempat kosong yang dimaksudkan adalah celah-celah dalam
cerita yang mengambang, close ending dan sebagainya, yang nantinya mesti
ditentukan oleh pembaca. Setelah itu, penentuan makna oleh pembaca tersebut
mesti menjadi milik pembaca mutlak, ini disebut Rekuperasi.
Penentuan
ini terikat pada beberapa hal, yaitu pengalaman hidup pembaca, norma yang
dianut serta pendidikannya yang jelas menceminkan wawasannya. Pendekatan ini
juga memberikan otoritas terhadap pembaca untuk mengklaim kepantasan atau
ketidakpantasannya sebuah karya sastra dibaca. Apakah karya sastra yang
bersangkutan pantas dibaca atau sebaliknya.
Sebagai
contoh yang baik, reaksi yang pernah terjadi di Perancis pada tahun 1857.
terbit untuk pertama kalinya roman karangan Gustave Flaubert yang berjudul
Madame Bovary. Roman tersebut oleh kaum Borjuis yang mapan di Paris dianggap
sangat mengancam tata etika dan susila pada saat itu. Tokoh utama dalam roman
tersebut adalah Emma, seorang pelaku zinah. Dalam tata etika-susila masyarakat
sezaman, orang seperti Emma ini harus dihukum akibat perbuatanya. Tetapi
Flaubert di dalam romannya sama sekali tidak menghukum Emma atas perbuatannya
tersebut. Hal tersebut dianggap sangat berbahaya karena menjadi rongrongan tata
masyarakat Perancis waktu itu.
Flaubert
diancam hukuman yang berat. Namun Flaubert mengutarakan alasan cerdas dan
akhirnya dinyatakan tidak bersalah. Bahwa dia tidak membiarkan Emma tidak
dihukum di dalam romannya, yang sebenarnya adalah plot roman tersebut merupakan
pikiran dan renungan Emma sendiri.
Gaya
sastra yang sangat baru pada saat itu di Perancis. Dimana penulis membayangkan
khayalan dan renungan yang ada di kepala tokoh, yang mana penilaian moralnya
terserah pada pembaca tanpa mesti menghukum penulis. Gaya sastra ini disebut
Reported Discourse.
Contoh
di atas merupakan contoh pragmatis juga contoh yang baik penelitian resepsi
sastra. Jadi intinya pendekatan pragmatis ini memberikan otoritas penuh
terhadap pembaca. Dalam hal penilaian dan pemaknaan karya sastra yang
bersangkutan. Berbeda bila dibandingkan dengan pendekatan lain. Pendekatan
pragmatis menurut penulis sangat fleksibel karena hasil penelitian sangat
bervariasi , tergantung pada pembacanya baik lingkungan sosial-budayanya maupun
berhubungan aspek-aspek lain. Yang jelas akan berbeda dengan pembaca lain
seperti masa, tata etika masyarakat yang berlaku dan sebagainya.
2.3. Pendekatan Ekspresif
Pendekatan
ekspresif adalah pendekatan yang memandang karya sastra sebagai ekspresi
pengarang. Jadi penelitian dengan pendekatan ini akan menitik beratkan
kehidupan pengarang di segala aspek sebagai pokok gagasan. Karya sastra
hampir-hampir menjadi suatu dunia yang menjadi sarana pertemuan bagi pembaca
dan pengarang; dalam pengertian bahwa karya sastra tersebut menyiratkan ciri
khas pengarang, bahkan lewat karya sastra tersebut pembaca seolah-olah terseret
ke dalam sosio-kultural pengarang pada kurun masanya. Karena karya sastra
memiliki sejarah penciptaannya, kaitannya dengan sosial pengarang yang menjadi
pengaruh dalam penciptaan karya tersebut, bahkan sebagai indikator konvensi
sastra yang dipakai. Misalnya kita membaca sebuah roman klasik, maka roman
tersebut tercipta atas konvensi sastra zaman klasik.
Aspek
ekspresif telah ditonjolkan pada zaman klasik kebudayaan barat, namun
pengaruhnya tidak maksimal. Karena penonjolan manusia sebagai pencipta
bertentangan dengan dogma Kristen mengenai manusia pada zaman tersebut (dalam
hal ini ajaran agama Kristen sangat menentang pendapat manusia sebagai pencipta
sesuatu, satu-satunya pencipta mutlak hanya Tuhan). Sehingga banyak
penulis-penulis salaf (pertama) kehilangan namanya. Yang mungkin tersisa
hanyalah penulis-penulis seperti Aristoteles, Horatius, Plato dan beberapa
filsuf lainnya. Namun tak sedikit karya-karya yang penulisnya sudah tidak diketahui
lagi, sehingga penulis-penulis itu disebut Longinus.
Barulah pada zaman abad
pertengahan, aspek ekspresif mulai bangkit, dimana seniman atau Sastrawan
(pengarang) dianggap sebagai peneladan setelah gagasan bahwa manusia meneladani
ciptaan Tuhan dalam penciptaan karyanya muncul. Gagasan ini mungkin berpegang
pada suatu ajaran dalam teologi Masehi, bahwa bahwa kegiatan manusia sebagai
peneladan ciptaan Tuhan. Penciptaan manusia selalu bersifat penciptaan kembali.
Dalam prinsip ini, manusia disebut Homo Artifex.
Pengarang di dalam pendekatan ini
sama sekali tidak boleh ditiadakan, karena tidak mungkin tercipta suatu teks
tanpa ada yang menciptakan, dan tak ada pencipta tanpa intensi. Pengarang ialah
faktor utama yang sangat menentukan dalam penafsiran karya sastra. Juhl sangat
menentang prinsip struktural dan otonomi yang melepaskan karya sastra dari
kehidupan dan intensi penulisnya.
Niat penulis menurutnya, terwujud
dalam proses seleksi kata dalam penciptaan karyanya.
Ini berarti niat penulis
terproyeksi pada kata dalam penciptaan karyanya. Tetapi mesti dikorelasikan
juga dengan data-data biografis. Oleh karenanya, pengarang sangat menentukan
interpretasi karya sastra. Tentunya dalam prinsip pendekatan ini. Namun perlu
dipahami bahwa esensi serta estetisnya karya sastra terletak pada ambiguitas
kata yang digunakan. Sehingga ketegangan dan petak-umpet antara pembaca dan
pengarang merupakan ciri khas tersendiri. Sebagaimana yang Prof. Teeuw katakan
bahwa pembaca dikian-kemarikan yang merupakan interaksi antar pembaca, teks dan
niat penulis.
Teeuw juga berasumsi dalam
kesimpulannya bahwa bagi pembaca, hubungan antar-teks dan penulisnya mempunyai
ambiguitas sebagai ciri khas sastra. Makna dari sebuah karya sastra tidak
mutlak ditentukan oleh penulis, tetapi tidak juga diluar dari diri penulis.
Jadi jelasnya antara penulis,
karya sastra dan pembaca, terjadi interaksi secara tidak langsung. Pembaca juga
semestinya sadar, bahwa disaat membaca sebuah karya sastra (dan seluruh teks
pada umumnya), pada hakikatnya berhadapan dengan seorang manusia yang juga
memberikan kesempatan pada pembaca untuk berkreatif dalam menginterpretasi
karyanya. Tetapi tanpa meniadakan penulis sebagai pencipta karya sastra yang
bersangkutan (depersonalisasi).
Demikian secara singkat tentang
pendekatan ekspresif terhadap karya sastra, suatu pendekatan yang mendekati
karya sastra lewat study biografik (study tentang penulisnya) kehidupannya,
niatnya yang menentukan tujuan karyanya. Meskipun diakui bahwa setiap pembaca
dan peneliti memiliki kesimpulan yang bervariasi menurut situasinya. Namun pada
intinya, pendekatan ekspresif menekankan penghadiran penulis sebagai faktor
utama dalam penginterpretasian karya sastra.
2.4. Pendekatan Mimesis
Pendekatan mimesis adalah
pendekatan yang memandang karya sastra sebagai peneladanan atau pembayangan
terhadap kenyataan atau universe atau reality dalam istilah lain. Pendekatan
ini sangat kompleks dan rumit, karena yang dibahas bukan hanya problematika
kesastraan saja, melainkan pula problematika disiplin ilmu yang lain, yang
eksis dimuka bumi seperti filsafat, psikologi, sosiologi, agama dan lain-lain.
Verdenius menyatakan bahwa, yang
nyata secara mutlak hanya yang baik, dan derajat kenyataan semesta bergantung
pada derajat kedekatannya terhadap Ada. Yang “baik” disini adalah kenyataan
alam (naturae) dan karya sastra mimesis memiliki nilai yang diukur pada ke
identikannya terhadap universe dalam istilah Abrams.
Menurut Plato, mimesis tidak
menghasilkan copy yang ideal, dalam hal ini Teeuw juga menyatakan bahwa mimesis
hanya bisa mendekati kenyataan, namun tidak bisa diklaim sama. Plato kemudian
beranggapan bahwa karya sastra atau seni mimesis secara hierarkis berdiri
dibawah kenyataan itu sendiri. Jadi karya sastra mimesis berada pada tataran
rendah, wujud yang ideal tidak bisa terjelma dalam karya sastra. Teeuw juga
memaparkan pengingkaran Plato akan pertentangan antara idealisme dan realisme
(gagasan dan kenyataan tidak bertentangan, tapi searah menurut plato) dalam
seni. Idealisme meniru atau meneladani realisme, sehingga idealisme harus
meliputi kebenaran realitas secara utuh. Dan seniman mesti tunduk dan takluk
pada realitas. Sehingga dari aspek tekhnik, menurut Plato; karya seorang tukang
malahan lebih tinggi nilainya dibandingkan dengan seorang seniman. Karena
tukang didalam karyanya efisien meniru kemutlakan benda-benda, sedangkan
seniman larut dalam emosi dan nafsu (emotion and passion). Disinilah terjadi
perselisihan antara Plato dengan muridnya Aristoteles.
Menurut Aristoteles, karya
seorang seniman justru lebih tinggi nilainya ketimbang karya seorang tukang.
Seorang tukang justru menciptakan sesuatu yang nilainya lebih rendah. Sedangkan
seni justru menyucikan jiwa lewat proses yang didalam dunia seni disebut
Katharsis. Dengan menimbulkan rasa kekhawatiran, khas kasihan, cinta dalam hati
kita, karya seni memungkinkan kita membebaskan diri dari nafsu yang rendah.
Dampak karya seni terwujud lewat pemuasan estetik, tingkatan jiwa meningkat
menjadikan diri lebih budiman.
Aristoteles juga mengatakan bahwa
karya seni tidak mutlak meneladani kenyataan, justru seniman menciptakan
dunianya sendiri. Jadi seniman tidak mementaskan kenyataan, seniman atau
Sastrawan menciptakan dunianya dengan berbagai kenisbian dan peristiwa yang
logis, kausalitas yang rasional, segala aksi menimbulkan konsekuensi yang masuk
akal seperti yang terdapat dalam realitas. Bahkan karya seni menurut
Aristoteles sebagai sarana pengetahuan yang khas, cara yang unik untuk
membayangkan solusi situasi manusia yang tidak dapat diungkapkan dengan jalan lain.
Segala sesuatu dalam karya sastra
hanya menjadi saran yang merujuk pada realitas (model semiotik), namun pada
hakikatnya karya sastra sebagai heterokosmos atau dunia dalam kata adalah dunia
yang diciptakan oleh penciptanya. Pembacalah yang diseret masuk kedalamnya.
Namun meskipun demikian, karya sastra mestilah mewujudkan kausalitas yang
rasional dalam keseluruhan plotnya, sebagaimana kausalitas yang rasional
sebagaimana terdapat pada realitas.
Untuk meneliti karya sastra lewat
pendekatan ini, maka bukan hanya disiplin ilmu sastra saja yang terlibat. Namun
berbagai disiplin ilmu ikut terlibat didalamnya. Seperti halnya filsafat,
psikologi, sosiologi, antropologi, hukum dan agama. Karya sastra. Katakanlah
roman, suatu jenis karya sastra tulisan yang sangat bersifat mimesis. Segala
tokoh dan peristiwa di dalamnya adalah kreasi dari pada pengarang.
Tetapi pengarang mestilah
memerlukan ide-ide untuk berkreatif. Dan ide-ide itu terbentuk melalui
pengenalan terhadap realitas, sehingga di dalam karya tersebut ada keterkaitan,
pembauran antara peneladanan dan kreasi (between mimetic and creatio) sehingga
di dalam roman, tak ada realitas mutlak. Yang ada justru mimesis, pembayangan
realitas yang diarahkan dan dikelola creatio. Dalam kreasi ini, penulis juga
membatasi kebebasannya dalam mengolah gagasan mimetiknya. Meskipun penulis
berada dalam kebebasan berkreatifnya, tetapi penulis mesti sadar bahwa dia
terikat dengan konvensi realitas (rational causality and logical consequence)
dalam rangka peneladanan kenyataan. Misalnya di dalam sebuah roman, ada
seseorang yang dipanah tiga kali tepat di jantungnya. Peristiwa ini tidak
terjadi pada kenyataan, tetapi kreasi pengarang. Dalam rangka meneladani
kenyataan, maka kematian merupakan konsekuensi logisnya.
Dengan demikian dapatlah dipahami
bahwa pendekatan mimesis ini digunakan dengan penganggapan bahwa karya sastra
merupakan kreasi pengarang dengan meneladani realitas.
BAB III
SASTRA DAN SEMIOTIKA
3.1. Semiotika
Semiotika atau Semiologi berasal
dari kata bahasa Yunani Semeion yang artinya “tanda” atau Sign. Semiotik berarti tanda yang bermakna,
sedangkan semiotika atau semiologi berarti ilmu tentang tanda. Bahasa adalah
suatu bentuk sistem tanda. Bapak linguistik dunia Ferdinand de Sausurre telah
merumuskan Semiotik ini dalam dua anasir, yaitu Signifier (petanda) dan
Signified (yang ditandai). Sebuah kata senantiasa memiliki arti. Kata Meja
merupakan suatu tanda atau petanda (signifier) yang merujuk pada suatu benda
berkaki yang menyanggah suatu dataran dan biasa digunakan untuk meletakkan
benda-benda diatasnya, khususnya digunakan sebagai tempat untuk menulis dan
membaca, benda yang disebut meja itu beserta sifatnya itulah yang disebut
dengan yang ditandai (signified).
Bahasa sebagai media ekspresi
seni sastra berbeda dengan media-media lain yang digunakan untuk
mengekspresikan seni lain, seperti cat untuk pelukis, nada untuk musisi dan
sebagainya. Media-media non-linguistis (yang bukan bahasa) ini sebelum
digunakan bersifat netral. Cat merah sebelum digunakan belum memiliki arti
apa-apa, nada pun demikian. Namun bahasa sudah memiliki arti meskipun belum
digunakan sebagai medium bersastra. Sehingga dapat dikatakan bahwa bahasa
sebagai sistem tanda merupakan tingkat pertama dan ketika bahasa digunakan
sebagai media bersastra maka bahasa sastra itu sendiri menjadi sistem tanda
tingkat kedua, karena dalam bersastra, arti-arti bahasa itu mengalami
penambahan dan pendalaman arti yang sejatinya menambahkan satu unsur lagi dalam
sistem tanda setelah Signifier dan Signified, yaitu Significance atau Makna.
Meskipun demikian, sastra sama
sekali tidk dapat terlepas dari sistem bahasa. Walaupun karya sastra sebagai
semiotik tingkat ke dua, namun karya sistem sastra berpegang teguh pada sistem
bahasa. Hal ini disebabkan karena bahasa itu sudah merupakan sistem tanda yang
mempunyai artinya berdasarkan konvensi tertentu.
3.2. Retorika
Setiap sastrawan pasti memiliki
gaya bahasa tersendiri. Malahan setiap manusia memiliki gaya bahasa tersendiri.
Bertolak dari ideologi bahwa bahasa mencerminkan karakteristik seseorang,
sehingga masing-masing orang memiliki gaya bahasa yang unik. Tak terkecuali
para sastrawan. Mereka memiliki gaya bahasa masing-masing dan gaya bahasa itu
menjadi warna tertentu dalam setiap karya mereka.
Gaya bahasa ialah susuna perkataan
yan terjadi karena perasaan yang timbul atau hidup dalam hati penulis, yang
menimbulkan suatu perasaan tertentu dalam hati pembaca. Gaya bahasa ini
terbentuk dari perasaan, pemikiran beserta maksud dan tujuan penyampaian.
Sehingga perasaan yang berbeda-beda, pemikiran yang berbeda-beda, maksud dan
tujuan penyampaian yang berbeda-beda akan membentuk gaya bahasa yang
berbeda-beda pula.
Namun meskipun setiap bentuk gaya
bahasa berbeda dan unik, namun ada beberapa kesamaan yang dapat dipergunakan
dan ini biasanya disebut sarana retorika (rhetorical devices). Sarana retorika
ini bermacam-macam, namun setiap angkatan sastra memiliki ikon yang menunjukkan
corak retorika yang digemari pada angkatamn atau periode itu. Hingga saat ini,
penulisan karya sastra terutamanya puisi atau sajak, memiliki beberapa corak,
namun menurut saya setiap periode mewarisi dan mengakulturasi corak-corak
retorika periode-periode sebelumnya, karena para sastrawan senantiasa ingin
mengadakan sebuah inovasi, pembaruan yang menentangi konvensi.
Beberapa jenis sarana retorika
yang dapat disampaikan secara singkat dalam bagian ini antara lain; Tautologi,
Pleonasme, Retorik Retisense, Paralelisme, Enumerasi, Paradoks, Hiperbola, dan
Kiasmus.
a. Tautologi
Tautologi ialah sarana retorika yang
menyatakan hal secara berulang, setidaknya dua kali. Pengulangan ini dilakukan
guna memperdalam arti kata atau keadaan terhadap pembaca atau pendengar.
Meskipun secara fonologis pengulangan itu tidak terdengar atau terbaca sama,
namun secara semiotis perulangan itu merujuk pada suatu hal atau arti yang
sama, namun lebih mendalam. Misalnya: silih berganti tiada henti; tiada kuasa
tiada daya, larinya cepat semakin cepat, dsb.
b. Pleonasme
Pleonasme ialah sarana retorika
yang sekilas seperti Tautologi. Namun kata yang disebut kedua sebenarnya telah
tersimpul dalam kata yang pertama. Perulangan ini dimaksudkan agar maksud
menjadi lebih jelas. Misalnya: naik meninggi, turun melembah jauh ke bawah,
tinggi membukit, jatuh ke bawah, dsb.
c. Retorik Retisense
Retorik Retisense ialah sarana
retorika yang menggunakan banyak titik-titik. Penggunaan titik banyak ini untuk
menggantikan perasaan yang tidak dapat diungkapkan. Contohnya: hatiku ini…..
oh….., kasihku……, dsb.
d. Paralelisme
Paralelisme ialah pengulangan isi
kalimat yang maksud tujuannya serupa. Kalimat yang berikut hanya dalam satu
atau dua kata berlainan dari kalimat yang mendahului (Slametmuljana dalam
Pradopo, 1990:97). Contohnya: Segala kulihat segala membayang, segala kupegang
segala mengenang.
e. Enumerasi
Enumerasi ialah sarana retorika
yang berupa pemecahan suatu hal atau keadaan menjadi beberapa bagian, agar
hal-hal tersebut terkesan lebih jelas dan detil. Contohnya: di dalam suka di
dalam duka, waktu bahagia waktu merana, masa tertawa masa kecewa, kami terbuai
dalam nafasmu.
f. Paradoks
Paradoks ialah sarana retorika
yang menyatakan sesuatu secara bertentangan, tetapi sebenarnya bila
sungguh-sungguh dirasakan, sama sekali tidak bertentangan. Contohnya: hidup
yang terbaring mati, aku beku dalam kepanasan, dsb.
g. Hiperbola
Hiperbola ialah sarana retorika
yang melebih-lebihkan suatu keadaan. Guna menyangatkan, untuk intensitas dan
ekspresivitas. Contohnya: cinta ini setinggi langit, wajahmu seperti matahari,
dsb. Paradoks ini ada yang menggunakan penjajaran kata yang berlawanan seperti
pertentangan hidup-mati, dalam kalimat: kesusahanku membuat hidup serasa mati.
Paradoks ini disebut oksimoron.
h. Kiasmus
Kiasmus adalah sarana retorika
yang menyatakan sesuatu diulang, dan salah satu bagian kalimatnya dibalik
posisinya. Misalnya: diri mengeras dalam kehidupan, kehidupan mengeras di dalam
diri.
Demikian sarana-sarana retorika
yang seringkali digunakan untuk menciptakan sebuah karya sastra. Kebanyakan
dari sarana retorika di atas adalah untuk memperdalam makna, memperjelas,
mendetilkan dan menyangatkan makna agar pendengar atau pembaca bisa lebih mampu
memahami maksud dan kondisi jiwa pengarang.
Pengarang mewujudkan keinginan
hatinya lewat pilihan kata dan rangkaian kata-kata tersebut sehingga karyanya
melahirkan suatu medan semantis yang magnetis, yang begitu menarik perhatian
dan membuat pembaca atau pendengar larut dalam kesyahduan isi karyanya.
Oleh karenanya, agar tujuan
pencapaian pemuasan estetis ini tercapai, demi pengutaraan maksud dan isi hati
secara tepat, maka untuk itu haruslah dipilih kata-kata setepat mungkin.
Pemilihan kata ini disebut diksi.
Menurut Barfield kata-kata yang
dipilih itu menimbulkan imaginasi estetik, untuk mendapatkn kepuitisan atau
nilai estetik. Dengan kata lain, kata-kata tersebut meghasilkan suatu renungan
jiwa yang dalam, sehingga memungkinkan seorang pembaca atau pendengar mengalami
kepuasan estetis. Menurut J. Elema, karya sastra harus meliputi keutuhan jiwa,
Subagyo Sastrowardoyo menerjemahkan hal tersebut sebagai karya sastra yang
mampu dijiwai secara utuh. Jika sebuah karya sastra dapat dijiwai, atau
setidaknya dapat menghadirkan suatu kesadaran lain dalam perenungan jiwa, maka
karya sastra tersebut dapat merubah jiwa seseorang menjadi lebih budiman, ini
yang dimaksud oleh Aristoteles dengan proses penyucian jiwa lewat seni atau
Katharsis.
PENUTUP
PENUTUP
Demikianlah yang dapat kami
paparkan dalam makalah ini, semoga bisa menjadi suatu sumber pengetahuan,
setidaknya menjadi untoduksi sastra kepada para pelajar dan mahasiswa, khususnya
bagi mereka yang belum memahami apakah sastra serta teori konstruksi dan
konkretisasi sastra.
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR PUSTAKA
Faruk, DR. 1999. Pengantar
Sosiologi Sastra. Yogyakarta. Pustaka Pelajar
Kutha Ratna, Nyoman. 2003. Paradigma Sosiologi Sastra. Pustaka
Pelajar.
Kentjono, Djoko. 1982. Dasar-dasar Pengantar Linguistik.
Universitas Indonesia Press.
Kutha Ratna, Nyoman. 2004. Teori,
Metode dan Penelitian Sastra. Yogyakarta. Pustaka Pelajar.
Nurgiyantoro, Burhan. 1998. Teori
Pengkajian Fiksi. Yogyakarta. Gadjah Mada
University Press.
Pradopo, Rachmat Djoko. 1990.
Pengkajian Puisi. Yogyakarta. Gadjah Mada
University Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar