Apa itu Babad
Istilah babad terdapat di
Jawa, Madura, Bali, dan Lombok. Di daerah – daerah lain, seperti Sulawesi
Utara, babad disebut lontara, di Sumatra Barat dikenal dengan istilah tambo, di
Kalimantan, Sumatra, dan Malaysia dikenal dengan sebutan hikayat, sisilah, sejarah;
di Burma dan Thailand dikenal dengan sebutan kronikel (Soedarsono, 1985).
Ada bermacam – macam
pengertian babad. Menurut Darusuprapta (1976), babad adalah salah satu jenis
karya sastra – sejarah berbahasa Jawa Baru yang penamaannya beraneka ragam,
anatar lain berdasarkan nama sendiri, nama geografi, nama peristiwa atau yang
lainnya. Sartono Kartodirdjo (1968) menjelaskan babad merupakan penulisan
sejarah tradisional atau historiografi tradisional sebagai suatu bentuk dan
suatu kultur yang membentangkan riwayat, dimana sifat – sifat dan tingkat
kultur mempengaruhi dan bahkan menentukan bentuk itu sehingga historiografi
selalu mencerminkan kultur yang menciptakannya. Menurut Soekmono (1973), babad
merupakan cerita-sejarah yang biasanya lebih berupa cerita daripada uraian
sejarah meskipun yang menjadi pola adalah memang peristiwa sejarah. Teeuw
(1984) menjelaskan babad sebagai teks – teks historik atau genealogik yang
mengandung unsur – unsur kesastraan. Demikanlah ada bermacam – macam pengertian
babad. Akan tetapi, pada prinsipnya babad merupakan teks – teks historis yang
dikemas dengan unsur – unsur kesastraan
Hakikat Babad
Babad merupakan titk temu
antara sastra dan sejarah. Realistas dalam babad telah berpadu dengan
kreativitas. Maka realitas itu telah menunjukkan wajah baru. Dengan demikian,
babad bukanlah mutlak dipandang sebagai dokumen sejarah, tetapi juga dipandang
sebagai teks yang secara kreatif, dan menurut konvensi kebudayaan Bali,
menafsirkan dan membayangkan hal – hal sejarah dan bukan sejarah dalam rangka
pandangan dunia masyarakat Bali. Teks babad merupakan kenyataan yang diberi
nilai dan makna lewat cerita. Oleh karena itu, babad menjadi semacam model gaya
bercerita yang laku dalam kebudayaan Bali pada zaman itu. Dengan demikian,
seorang penulis babad lebih menekankan pemberian makna dan eksistensi manusia
lewat cerita, peristiwa yang barangkali tidak benar secara faktual tetapi masuk
akal secara maknawi. Jadi, dalam membaca babad kita selalu sadar bahwa kita
berada dalam tegangan history dan story. Dengan kata lain, manusia dapat
hidup dalam perpaduan antara kenyataan dan impian yang kedua – duanya hakiki
untuk kita sebagai manusia. Oleh karena itu, keobjektifan mutlak tidak pernah
tercapai karena beberapa hal, yaitu: (1) Fakta – fakta tidak pernah lengkap,
selalu fragmentaris; (2) Penulis babad mau tak mau harus berlaku selektif,
tidak semua fakta dan data sama penting dan relevennya. Ia harus memilih dan
kriteria objektif untuk penyelesaian tidak ada sehingga cendrung menulis apa
yang sebaiknya ditulis bukan apa yang seharusnya ditulis; (3) Penulis babad
adalah manusia yang latar belakang, kecendrungan, pendiriannya bersifat
subjektif, ditentukan oleh pengalaman, situasi, dan kondisi hidupnya sebagai
manusia sosio – budaya pada masa dan masyarakat tertentu (Teeuw, 1988).
Sifat Babad
Sejalan dengan pengertian dan hakikat
babad seperti di atas, maka babad memiliki sifat – sifat sakral-magis (dikramatkan), religio-magis
(mengandung kapercayaan), legendaris
(berhubungan dengan alam semesta), mitologis
(berhubungan dengan dewa – dewa), hagiografis
(mengandung kemukjizatan menyimpang dari hukum alam), simbolis (mengandung lambang – lambang, kata – kata keramat atau bhisama, benda – benda kramat), sugestif (mengandung ramalan, suara
gaib, tabir mimpi), istana sentris
(berpusat pada kerajaan), pragmentaris
(tidak lengkap), raja-kultus
(pengagungan leluhur), lokal
(bersifat kedaerahan), dan anonim
(tanpa nama pengarang).
Peranan dan fungsi Babad pada Masyarakat Bali Masa Kini
Sebagaimana telah
disebutkan sebelumnya bahwa babad pada hakikatnya merupakan penafsiran terhadap
kenyataan, alternatif kenyataan, atau kenyataan diberi makna lewat cerita.
Sejalan dengan itu, makna babad bukan terletak pada peristiwa itu tetapi berada
di balik peristiwa. Sebagai produk budaya kiranya babad dapat dilihat sebagai
sistem simbol. Babad dapat dipandang menggambarkan suatu cara masyarakat Bali
memperkuat dan melestarikan dirinya melalui simbolisasi dari nilai – nilai atau
konsep – konsepsi sosio-religius yang mendasari struktur sosialnya. Hal ini
penting terutama ditinjau dari segi proses interaksi masyarakat Bali sebagai
makhluk sosial. Dalam konteks ini interaksi itu dipahami sebagai interaksi
simbolik. Babad sebagai simbol digunakan oleh orang Bali dalam berinteraksi
satu sama lain atau untuk menyatakan gagasannya sebagai manusia berkebudayaan.
Selanjutnya, sebagai warisan budaya, kiranya babad dapat dipandang sebagai
konsepsi – konsepsi orang Bali dalam menanggapi kehidupan dan lingkungan-nya
demi eksistensinya secara historis. Kecuali itu, babad juga dipandang sebagai
suatu abstraksi tingkah laku, sebagai mekanisme kontrol bagi kelakuan orang
Bali. Dalam konteks inilah hal - hal penting dalam babad, seperti bhisama dan persoalan sesanan bagi klien bersangkutan dapat
dipahami dalam konteks yang lebih utuh. Sekalipun babad ditulis untuk mengenal
dan mengingat peristiwa – peristiwa historis dengan segala konsekuensinya, maka
kita lebih jauh dituntut untuk dapat memahami dan memberikan penafsiran secara
jernih dan komprehensif bahwa fungsi dokumentasi babad hendaknya dipahami
sesuai dengan kodratinya sebagai ciptaan sastra. Bahwa realita dalam babad
memiliki hukumnya sendiri yang tidak harus sama dengan realita dalam fakta. Hal
ini karena dalam ciptaan yang dinamakan sastra itu terdapat kepaduan antara mimesis dan creatio. Tidak hanya itu, fakta dan data yang tersedia di dalam
babad tidak dapat dipertanggungjawabkan secara penuh. Informasi pada babad
hanya dapat dimanfaatkan sebagai bahan tambahan. Jika mengangkat informasi
dalam babad sebagai bahan penyusunan sejarah, semestinya harus melalui kritik
sumber, babad dibaca berdampingan dengan sumber – sumber lainnya.
Namun demikian, masih dapat
diakui bahwa babad diciptakan dalam rangka struktur dan pemenuhan fungsi.
Sejalan dengan itu, fungsi babad, antara lain: berfungsi melegitimasi
(mengesahkan) asal – usul / silsilah leluhur, kejadian / peristiwa, desa, pura
atau hal – hal lainnya. Sehubungan dengan fungsi legitimasi inilah faktor –
faktor kepercayaan dan ritus religius berhadapan dan saling menentukan satu
sama lain. Unsur – unsur mitos, legenda, hagiografi, simbolisme, dan sugesti
sangat dibutuhkan dalam upaya menambah kakramatan dan kewibawaan tokoh atau
peritiwa yang dilegitimasi.
Di samping itu, babad
berfungsi sebagai, penghormatan kepada leluhur. Sebagaimana diketahui bahwa
salah satu kepercayaan (sradha) orang
Bali adalah kepercayaan terhadap leluhur. Banyak kasus ditemukan dala kehidupan
masyarakat Bali bahwa karena faktor “tidak mengenal leluhur” (tak kenal maka
tak sayang) orang tersebut hidup sengsara, tetapi setelah menemukan dan
mengenal leluhurnya kehidupannya berubah menjadi lebih bahagia. Hal ini pula
diamanatkan dalam petikan Kekawin Ramayana di atas, bahwa untuk dapat menjadi
seorang gunamanta (memiliki
kewajiban), seperti Sang Dasaratha, maka kita diwajibkan berbakti kepada
leluhur (tar malupeng pitrepuja) di
samping bertaqwa kepada Tuhan (bhakti
ring dewa).
Lebih jauh, babad
berfungsi sebagai penuntun para keturunan (pratisantana)
dalam menjalankan kewajiban masing – masing. Dalam tataran ini, babad dapat
dipandang sebagai suatu mekanisme untuk penataan tingkah laku, sebagai
mekanisme kontrol bagi tingkah laku orang Bali. Babad merupakan kristalisasi
pandangan hidup dan ajaran – ajaran luhur para leluhur pada masa lampau.
Dikatakan demikian karena hampir dalam setiap babad memuat bhisama leluhur tentang sesanan
(tetegenan, kewajiban) yang wajib
dilaksanakan oleh keturunannya. Babad mengajarkan kepada keturunannya untuk
lebih mengenal diri, untuk memahami hakikat dan eksistensi diri sebagai
individu dan makhluk sosial. Artinya, babad tidak mengajarkan keturunannya
untuk hidup terkotak – kotak, membatasi diri terhadap linkungan, namun
sebaliknya, babad mengajarkan interaksi orang Bali sebagai makhluk sosial.
Dalam tataran ini babad merupakan kepaduan antara ontologis dan kosmologis.
Oleh karena itu, diperlukan usaha pemahaman komprehensif, baik terhadap manusia
dan dunia maupun Tuhan dalam satu keseluruhan konseptual yang koheren. Hal ini
tentu memaksa pikiran untuk meraih sampai ke inti paling murni yang tersembunyi
dalam struktur – struktur pengalaman manusia (leluhur pada masa lalu). Akan
menjadi sangat baik apabila keturunan suatu klien mampu melakukan pemahaman
seperti itu tentang babad sehingga tumbuh kesadaran yang tereflaksikan dalam
bentuk pelaksanaan dharma masing – masing (dharma
agam dan dharma nagara) meniru jejak para leluhur. Dalam rangka meniru
jejak leluhur itu, kita mesti tetap dalam kesadaran bahwa babad adalah produk
masa lampau yang diberi makna pada masa kini. Artinya, sangat diperlukan
kepekaan terhadap situasi dan kondisi zaman pada saat pembacaan. Apabila
keturunan suatu klien telah mampu menjalankan kewajibannya dengan baik, maka
mereka akan menikmati haknya dengan baik. Dalam rangka inilah kerapkali terjadi
kesalahpahaman dalam menafsirkan babad. Yang menjadi horison harapan adalah hak
dan melupakan kewajiban apa yang diamanatkan oleh leluhur. Oleh karena itu,
sering menimbulkan konflik, baik internal maupun eksaternal.
Babad juga berfungsi
sebagai sumber inspirasi seni. Cabang seni yang lain, seperti seni pertunjukan,
seni rupa, seni patung, bahkan genre sastra lainnya (kidung, geguritan)
kerapkali mengambil sumber pada teks – teks babad. Namun hal penting yang perlu
diperhatikan dalam memilih dan mengangkat babad sebagai sumber inspirasi atau
sumber lakon seni pertunjukan adalah adanya kesinambungan yang mampu menunjukan
ciri khas babad lain berupa legitimasi, genealogi, simbolisme, hagiografi,
mitologi, dan sugesti.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar