Catatan I Made Sujaya
MENJAGA Bali tetap Bali tampaknya menjadi angan-angan sebagian besar orang Bali. Tak terkecuali para sastrawan. Seperti tercermin dalam karya-karyanya, para pengarang Bali menunjukkan pandangannya agar Bali tetap bersikap terbuka menerima pengaruh luar tanpa harus kehilangan kebalian.
Hal ini diungkap Guru Besar Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Unud, Prof. Dr. I Nyoman Darma Putra, M.Litt., setelah meneliti 14 cerpen dan novel karya 10 pengarang Bali, baik dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Bali.
"Disadari atau tidak, para pengarang Bali memiliki spirit pendirian yang sama dengan kalangan antropolog bahwa daripada membendung pengaruh eksternal, lebih baik orang Bali memperkuat benteng pertahanan kulturalnya. Tokoh-tokoh orang Bali di dalam cerita mereka digambarkan bersifat terbuka, out going, sigap menyambut kedatangan orang asing, bahkan bergaul dekat dan hangat sampai-sampai ke tingkat keintiman seksual," kata Darma Putra.
Akan tetapi, dosen yang juga wartawan ini menyatakan, pada titik tertentu mereka dilukiskan tidak hanyut berasimilasi lewat kawin campur, apalagi kebarat-baratan, yang berarti bahwa mereka harus tetap tinggal di Bali sebagai penjaga 'benteng terbuka'.
Namun demikian, pergaulan-pergaulan dengan orang Barat diperlukan sebagai media bagi orang Bali, tidak saja untuk mengadaptasi atau mengadopsi nilai-nilai budaya modern tetapi juga memacu orang Bali sendiri untuk lebih memahami dan bila perlus ecara kritis menafsir ulang praktek dan nilai-nilai budaya yang mereka warisi selama ini. Ini bisa dilihat dari teks-teks narasi yang melukiskan tokoh-tokoh Barat dengan peran memprovokasi pandangan konservatif orang Bali terhadap adat, tradisi, dan budaya.
Putu Wijaya dalam Tiba-tiba Malam menggunakan tokoh David untuk mengontraskan nilai tradisi Bali dengan rasionalitas Barat, walaupun akhirnya gagasan reformasi dan kemajuan itu menjadi sangat problematik dalam masyarakat Bali. Putra Mada dalam Liak Ngakak menggunakan Cathie untuk mengingkapkan ihwal leak, salah satu aspek misteri dan 'menakutkan' dari sistem kepercayaan masyarakat Bali. Aryantha Soethama lewat Wanita Amerika Dibunuh di Ubud menjadikan kematian Suzan untuk merangsang pembahasan kritis tentang wacana upacara ngaben hemat dan Hindu sebagai agama universal.
Selain itu, jelas penulis buku Tonggak Baru Sastra Bali Modern ini, pengarang Bali menggunakan tokoh Barat untuk mengkritik. Dalam budaya Bali, kritik atau pujian diharapkan datang dari orang lain, bukan dari diri sendiri, seperti tercermin dari ungkapan eda ngaden awak bisa, depang anake ngadanin (jangan menganggap diri bisa, biar orang lain yang menilainya). Seolah larut dalam slogan ini, pengarang Bali menggunakan orang Barat untuk menilai dan mengritik budaya Bali. Dalam banyak hal, orang Barat dikenal berkarakter terus terang, bahkan out spoken (tanpa tedeng aling-aling), kadang radikal karena gap kultural. Pengarang Bali menawarkan kritik orang Barat sebagai cermin bagi orang Bali untuk terus melakukan refleksi dalam rangka memperkuat jati diri sebagai orang Bali.
Darma Putra menegaskan, walaupun para pengarang Bali tidak menggunakan istilah seeksplisit 'ajeg Bali' atau 'lestarikan budaya Bali' cerita-cerita yang mereka tulis menunjukkan bahwa mereka memiliki komitment yang jelas untuk mempertahankan Bali dan identitas budayanya. "Pendek kata, tanpa menutup kemungkinan tafsir lain, teks-teks sastrawan Bali bisa dilihat sebagai perwujudan dari atau representasi politik identitas para pengarang untuk menjaga agar Bali tetap Bali," tandas anggota juri hadiah sastra Rancage untuk sastra Bali modern ini.
MENJAGA Bali tetap Bali tampaknya menjadi angan-angan sebagian besar orang Bali. Tak terkecuali para sastrawan. Seperti tercermin dalam karya-karyanya, para pengarang Bali menunjukkan pandangannya agar Bali tetap bersikap terbuka menerima pengaruh luar tanpa harus kehilangan kebalian.
Hal ini diungkap Guru Besar Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Unud, Prof. Dr. I Nyoman Darma Putra, M.Litt., setelah meneliti 14 cerpen dan novel karya 10 pengarang Bali, baik dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Bali.
"Disadari atau tidak, para pengarang Bali memiliki spirit pendirian yang sama dengan kalangan antropolog bahwa daripada membendung pengaruh eksternal, lebih baik orang Bali memperkuat benteng pertahanan kulturalnya. Tokoh-tokoh orang Bali di dalam cerita mereka digambarkan bersifat terbuka, out going, sigap menyambut kedatangan orang asing, bahkan bergaul dekat dan hangat sampai-sampai ke tingkat keintiman seksual," kata Darma Putra.
Akan tetapi, dosen yang juga wartawan ini menyatakan, pada titik tertentu mereka dilukiskan tidak hanyut berasimilasi lewat kawin campur, apalagi kebarat-baratan, yang berarti bahwa mereka harus tetap tinggal di Bali sebagai penjaga 'benteng terbuka'.
Namun demikian, pergaulan-pergaulan dengan orang Barat diperlukan sebagai media bagi orang Bali, tidak saja untuk mengadaptasi atau mengadopsi nilai-nilai budaya modern tetapi juga memacu orang Bali sendiri untuk lebih memahami dan bila perlus ecara kritis menafsir ulang praktek dan nilai-nilai budaya yang mereka warisi selama ini. Ini bisa dilihat dari teks-teks narasi yang melukiskan tokoh-tokoh Barat dengan peran memprovokasi pandangan konservatif orang Bali terhadap adat, tradisi, dan budaya.
Putu Wijaya dalam Tiba-tiba Malam menggunakan tokoh David untuk mengontraskan nilai tradisi Bali dengan rasionalitas Barat, walaupun akhirnya gagasan reformasi dan kemajuan itu menjadi sangat problematik dalam masyarakat Bali. Putra Mada dalam Liak Ngakak menggunakan Cathie untuk mengingkapkan ihwal leak, salah satu aspek misteri dan 'menakutkan' dari sistem kepercayaan masyarakat Bali. Aryantha Soethama lewat Wanita Amerika Dibunuh di Ubud menjadikan kematian Suzan untuk merangsang pembahasan kritis tentang wacana upacara ngaben hemat dan Hindu sebagai agama universal.
Selain itu, jelas penulis buku Tonggak Baru Sastra Bali Modern ini, pengarang Bali menggunakan tokoh Barat untuk mengkritik. Dalam budaya Bali, kritik atau pujian diharapkan datang dari orang lain, bukan dari diri sendiri, seperti tercermin dari ungkapan eda ngaden awak bisa, depang anake ngadanin (jangan menganggap diri bisa, biar orang lain yang menilainya). Seolah larut dalam slogan ini, pengarang Bali menggunakan orang Barat untuk menilai dan mengritik budaya Bali. Dalam banyak hal, orang Barat dikenal berkarakter terus terang, bahkan out spoken (tanpa tedeng aling-aling), kadang radikal karena gap kultural. Pengarang Bali menawarkan kritik orang Barat sebagai cermin bagi orang Bali untuk terus melakukan refleksi dalam rangka memperkuat jati diri sebagai orang Bali.
Darma Putra menegaskan, walaupun para pengarang Bali tidak menggunakan istilah seeksplisit 'ajeg Bali' atau 'lestarikan budaya Bali' cerita-cerita yang mereka tulis menunjukkan bahwa mereka memiliki komitment yang jelas untuk mempertahankan Bali dan identitas budayanya. "Pendek kata, tanpa menutup kemungkinan tafsir lain, teks-teks sastrawan Bali bisa dilihat sebagai perwujudan dari atau representasi politik identitas para pengarang untuk menjaga agar Bali tetap Bali," tandas anggota juri hadiah sastra Rancage untuk sastra Bali modern ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar