Anatomi
Puisi Bali Modern
Yang termasuk anatomi
puisi terdiri dari : (1) pengertian puisi; (2) jenis-jenis puisi; (3)
aspek-aspek menonjol Puisi Bali Modern.
Pengertian
Puisi Bali Modern
Yang
dimaksud dengan puisi ialah karangan terikat (Hidayat, 1994: 114). Menurut
Tarigan, puisi adalah hasil seni sastra yang kata-katanya disusun menurut
syarat-syarat tertentu dengan menggunakan irama, sajak dan kata-kata kiasan
(1984: 4). Kedua pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan
puisi adalah hasil seni sastra yang terikat oleh syarat-syarat tertentu dengan
menggunakan irama, sajak dan kadang-kadang berisi kata-kata kias. Kalau
dibandingkan dengan Puisi Bali bahwa Puisi Bali Modern adalah: gendra (ragam)
sastra berbahasa Bali yang terikat oleh irama
serta penyusunan tipografi yang berupa larik-larik dan bait atau bait-bait.
(Rai Putra: 1) Gendra ini menyerap unsur atau nilai-nilai sastra Bali tradisional dan bahkan puisi Jawa Kuna (kekawin
dalam bentuk pengungkapan yang baru). Bentuk pengungkapan yang baru itu
menunjukkan adanya suatu pengaruh dari puisi barat yang antara lain terwujud
dalam bentuk yang tidak lagi terikat oleh jumlah suku kata tiap larik, jumlah
larik tiap bait, jumlah bait, bunyi akhir larik. Bentuknya yang bebas itulah
yang antara lain menyebabkan iramanya menjadi bebas pula, dalam arti tidak
terikat pada pola tertentu seperti pupuh dan geguritan misalnya.
Jenis-jenis
Puisi Bali
Jenis-jenis puisi di dalam
kesusastraan Bali itu ada dua yaitu Puisi Bali
Tradisional (Purwa) dan Puisi Bali Modern (Anyar). Puisi Bali Tradisional
(Purwa) berupa tembang, contohnya: sekar alit, sekar madia, miwah sekar agung.
Puisi Bali Modern (Anyar) itu bisa dibaca dan dideklamasikan. Sedangkan Puisi
Bali Purwa dibaca dan dinyanyikan (Puspa Sari 2, 2006: 73). Puisi Bali Modern
(Anyar) dibuat berdasarkan unsur-unsur intrinsik sepeti: tema (indik napi
tatuwek daging puisi), rima (perasaan-perasaan buyi), ritma (perhentian atau
tekanan-tekanan yang teratur), majas (gaya
bahasa), kesan (isi perasaan yang diungkap), diksi (pilihan kata-katanya). Dan
juga dibangun oleh unsur-unsur ekstrinsik seperti: riwayat hidup pengarang,
kehidupan sosial para janane, tujuan yang diinginkan (Kesusastraan Bali, 2005:
47).
Aspek-aspek Menonjol
Puisi Bali Modern
1. Melukiskan
Puisi Bali Modern
Puisi-puisi Bali Modern cukup
memperhatikan unsur bunyi guna menunjang aspek musikalitasnya. Pada periode
1960-an lebih banyak digunakan bunyi-bunyi nyaring (euphony) sehingga
menimbulkan kesan romantik pada puisi, sedangkan pada periode 1970-an
bunyi-bunyi nyaring dikonfrontasikan dengan bunyi-bunyi berat (cacophony), guna
mendapatkan efek ironi atau paradok yang lebih tajam.
2. Gaya Bahasa Puisi Bali Modern
Unsur gaya bahasa Puisi Bali Modern pun ukup kuat
mendukung intensitas puisi, sebagai salah satu hakekat puisi. Selain itu unsur gaya bahasa ini juga
dapat lebih mengkongkretkan makna puisi secara keseluruhan, walaupun dengan itu
berarti puisi menyampaikan maksudnya secara tidak langsung, hal ini disebabkan
oleh pemakaian gaya
perbandingan yang lebih banyak dari gaya
yang lainnya. Gaya
bahasa perbandingan, baik berupa metafora maupun personifikasi, dimanfaatkan
dengan sangat efektif oleh para penyair Bali Modern. Gaya tersebut masih ditunjang pula dengan gaya bahasa paralelisme
yang dengan jelas dapat mendukung intensitas puisi, disamping juga menimbulkan
persamaan bunyi yang cukup bervariasi sebagai penunjang intensitas puisi.
Hakekat
Puisi Bali Modern
Rai Putra (2007: 8)
mengatakan bahwa, hakekat Puisi Bali Modern terdiri atas: tema, rasa, nada dan
amanat. Keempat unsur tersebut merupakan catur tunggal, karena unsur yang satu
sama lainnya sangat erat hubungannya. Berikut ini akan dipaparkan tiap-tiap
unsur secara ringkas.
Tema
atau makna
Jelas bahwa penyair dengan
puisinya ingin mengungkapkan sesuatu bagi para penikmatnya. Sang penyair
melihat atau mengalami beberapa kejadian dalam kehidupan masyarakat
sehari-hari. Dia ingin mengemukakan,
mempersoalkan, mempermasalahkan hal-hal itu dengan caranya sendiri. Dengan kata
lain sang penyair ingin mengemukakan pengalaman-pengalamannya kepada para
penikmat. Intinya puisi mengandung subject matter. Makna yang dikandung suatu
subject matter itulah makna (sense)
dari puisi.
Rasa
(feeling)
Menurut Richard yang dikutip
oleh Tarigan, rasa ialah sikap sang penyair terhadap pokok permasalahan yang
terkandung dalam puisi. Apakah benci atau kasihan dan sebagainya.
Nada
Nada dalam dunia perpuisian
adalah sikap penyair terhadap pembacanya, yaitu sikap sang penyair terhadap
para penikmat karyanya. Ada sangkut
pautnya dengan tema dan rasa yang terkandung pada sanjak. Sumbang bila pada
suatu sanjak yang bertemu kegagalan, terdapat rasa keangkuhan dan juga rasa
kegembiraan dan yang lainnya.
Amanat
Amanat maksudnya, orang hidup bekerja, belajar
semuanya itu ada tujuan. Tujuanlah yang mendorong orang melakukan sesuatu. Jadi
amanat itu sama artinya dengan tujuan. Hanya terkadang tujuan tersebut tidak
disadari, namun tetap ada secara eksplisit dan secara implisit. Demikian juga
para penyair sadar atau tidak sadar dia mempunyai tujuan dengan sanjak-sanjak
ciptaannya itu. Apakah tujuan tersebut untuk memenuhi hubungan pribadi sendiri
atau yang lainnya terkandung kepada pandangan hidup sang penyair (Tarigan,
1971: 20). Kalau penyairnya seorang guru, maka dalam sanjak-sanjak mungkin
dominant ingin mendidik para penikmat karyanya itu. Maka sanjak-sanjaknya
bersifat didaktis. Kalau kebetulan penyairnya seorang pendeta dan ulama, maka
ia membawa orang kepada hal-hal atas dasar kendali dharma.
Metode
Puisi:
Diksi
(diction)
Diksi berarti pemilihan kata. Pemilihan dan
pemaparan kata merupakan aspek yang utama dalam dunia puisi. Satuan arti yang
menentukan struktur formal linguistik karya sastra adalah J. Elema yang dikutip
Antara mengatakan bahwa, puisi mempunyai nilai seni bila pengalaman jiwa yang
menjadi dasarnya dapat dijelmakan ke dalam kata. Seorang penyair mestinya
sensitif kepada bahasanya, kepada pemilihan kata-kata. Hal ini dapat
disimpulkan bahwa, kata merupakan bahasa baku puisi, oleh sebab itu pilihan
kata atau diksi merupakan unsur penting dalam menciptakan kepuitisan sebuah
puisi. Puisi Bali Modern dominant menggunakan kata-kata atau ungkapan-ungkapan
yang bermakna kekhasan daerah (Bali). Periode selanjutnya menggunakan kata-kata
keseharian yang merujuk pada kehidupan modern.
Imajinasi
Pilihan
kata yang tepat dapat memperkuat serta memperjelas daya bayang pikiran manusia,
dan energi tersebut dapat pula mendorong imajinasi atau daya bayang kita untuk
menjelma akan gambaran nyata. Dengan menarik perhatian dan perasaan kita, sang
penyair berusaha membangkitkan pikiran dan perasaan penikmat sehingga mereka
menganggap bahwa merekalah yang benar-benar mengalami peristiwa tersebut.
Segala yang dirasakan atau dialami secara imajinatif inilah dikenal dengan
istilah imagery atau imaji.
Kata
Nyata
Salah satu cara untuk
membangkitkan daya bayang atau imajinasi para penikmat sesuatu puisi adalah
dengan mempergunakan kata-kata yang tepat, kata-kata yang kongkret, yang dapat
menyarankan suatu pengertian menyeluruh. Kata nyata adalah kata yang konkret
dan khusus, bukan kata yang abstrak dan bersifat umum.
Majas
Cara lain yang sering
dipergunakan oleh para penyair untuk membangkitkan imajinasi itu adalah dengan
memanfaatkan majas yang merupakan bahasa kias atau gaya bahasa. Penyair mempergunakan aneka
ragam majas untuk memperjelas maksud serta menjelmakan imajinasi itu.
Ritma
dan Rima
Besar pengaruhnya untuk memperjelas makna puisi.
Erat sekali hubungannya dengan sense, feeling, tone, dan intention yang
terkandung di dalamnya, perubahan ritma cendrung untuk menimbulkan perubahan
keempat unsur puisi itu. Ritma atau irama adalah turun naiknya suara secara
teratur, sedangkan rima atau sanjak adalah persamaan bunyi (Rai Putra, 2007:
11).
Makna
dan Tujuan Puisi
Agar kita mendapat
gambaran yang lebih jelas mengenai apa yang dimaksud dengan “maksud dan tujuan”
dari karya puisi adalah dengan bimbingan sebagai berikut:
1.
Bukan menyatakan makna tetapi justru menyarankannya.
2. Bukan untuk menceritakannya tetapi
melukiskan.
3. Bukan untuk menerangkan atau menjelaskan
tetapi mengajak atau mendorong para pembaca berkreasi.
4. Bukan untuk berbicara, tetapi berdendang
atau berlagu.
5. Bukan untuk berdendang atau berlagu melulu
tetapi justru membangun atau menimbulkan dendang atau lagu pada para
penikmatnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar