Pengertian
Kruna Satma
Dalam bahasa daerah
Bali dijumpai hal-hal seperti apa yang terdapat dalam pelajaran bahasa
Indonesia. Yaitu lima macam ilmu bahasa: (1) tata bunyi (fonologi), (2) tata
bentukan (morfologi), (3) tata kalimat (sintaksis), (4) tata wacana, (5) tata
arti (semantik). Dalam pembahasan ini merupakan bagian dari tata bentukan
(morfologi). Di mana tata bentukan tersebut terjadi disebabkan karena proses
afiksasi, proses perulangan, dan proses komposisi atau pemajemukan. Berdasarkan
hal-hal di atas kruna satma/kata majemuk merupakan hasil salah satu
proses morfologi yang sering disebut dengan persenyawaan, pemajemukan atau
komposisi.
Mengenai pengertian
atau batasan kruna satma/kata majemuk sudah banyak dibicarakan oleh para ahli
bahasa. Untuk lebih jelasnya mengenai batasan kata majemuk dipetik beberapa
pendapat para ahli yaitu :
Antara (2003 : 63)
dalam bukunya yang berjudul Sari Tata Basa Bali maosang kruna satma (kruna
mangkep, kruna dwi binalingga eka sruti) utawi kata majemuk (BI) inggih ipun gabungan kruna-kruna sane
madue arti asiki. Kruna satma punika kawangun antuk kruna lingga kekalih, pada
madue arti soang-soang, nanging yan kagabung pacang madue arti wantah asiki.
Upama kruna sapu angkepang ring
kruna tangan pacang marupa saputangan. Artin sapu miwah tangan
ring saputangan sampun matiosan awinan mateges asiki.
Keraf (1969 : 138)
dalam bukunya Tata Bahasa Indonesia mengatakan bahwa kata majemuk adalah
gabungan dua kata lebih yang memberikan satu kesatuan arti. Pada umumnya
struktur kata majemuk sama seperti kata biasa, yaitu tidak dapat dipeahkan lagi
atas bagian-bagian yang lebih kecil. Oleh karena gabungan itu sudah merupakan
kekuatan yang tidak dapat dibagi-bagi lagi, maka dalam memberikan sifat terhadap
kata majemuk itu, kata sifat atau keterangan-keterangan lain yang menerangkan
kesatuan itu harus memberikan keterangan atas keseluruhan kata sebagai satu
kesatuan. Unsur yang menjadi dasar pembentukan kata majemuk telah bersatu
menjadi hakikat-hakikat kebasaannya karena struktur kekataannya itu sudah
ditampung di dalam kesatuan gabungan itu.
M. Ramlan (1979 : 34)
dalam Pedoman Penulisan Tata Bahasa Indonesia mengatakan bahwa kata majemuk
adalah kata yang terdiri atas dua kata sebagai unsurnya.
Semua definisi diatas
menunjukkan adanya kesamaan tentang konsep kruna satma/kata majemuk.
Berdasarkan hal tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa kruna satma/kata
majemuk (S1) adalah rangkaian dua buah kata atau lebih yang sedemikian eratnya
sehingga menimbulkan pengertian baru. Jadi kruna satma itu terjadi aats dua
kata atau lebih dan mengandung satu kesatuan arti. Disamping itu unsur-unsur
yang membentuk kruna satma itu tidak bisa dipisahkan antara yang satu dengan
yang lainnya. Jika unsur-unsur itu dipisahkan maka arti setiap unsur yang
menjadi unsur kruna satma itu sudah tidak menonjol lagi, yang menonjol adalah
arti baru yang ditimbulkan akibat persenyawaan usnru-unsur yang membentuk kruna
satma/kata majemuk itu.
Contoh : Kelompok kata jebug arum yang
terdiri atas unsur jebug “jebug” dan arum “arum”, arti masing-masing unsur yang
membentuk kelompok itu tidak menonjol lagi, tetapi keduanya sudah membentuk
arti baru yaitu jebugarum (buah yang dapat digunakan tanaman obat-obatan
tradisional Bali).
Konstruksi yang mempunyai arti baru
tidak dapat disisipio dengan kata lain. Kalau disisipi dengan kata lain,
fungsinya sebagai kruna satma/ kata majemuk akan terganggu dan konstruktinya
kan berbentuk frase.
Misalnya : - Anak tua kata majemuk ini dapat
disisipi kata ane sehingga menjadi anak ane tua, sehingga
konstruksi ini bukan lagi kata majemuk, melainakn sudah menajdi konstruksi
frase
Ciri-Ciri Kruna Satma
Ciri adalah suatu penanda yang dapat
membedakan satu unsur dengan unsur yang lain, atau satu bentuk dengan bentuk yang
lain. Ciri atau penanda untuk kata majemuk ada dua jenis yaitu ciri arti, ciri
bentuk.
Anom (1975 : 84-85) dalam buku Morfologi
Bahasa Bali, dalam Masalah Pembakuan Bahasa Bali mengemukakan bahwa : Oleh
karena sukar membedakan struktur antara “KRUNA SATMA” (KS) sebagai PROSES
MORFOLOGI dan FRASE sebagai peristiwa sintatik, perlu ditetapkan dulu ciri-ciri
kruna satma itu yaitu :
A.
Bahwa diantara kedua unsurnya tidak dapat
disisipkan unsur lain. Contoh jebugarum tidak dapat dikatakan jebug
ane arum; tetapi lengis miik dapat dikatakan lengis ane miik.
Maka jebugarum adalah kruna satma sedang lengis miik bukan. Beberapa
contoh : galang kangin, suria kanta.
B.
Unsurnya walaupun sederajat tidak dapat
berkomunikasi, misalnya ‘kaja kauh’, tidak pernah bebrentuk ‘kauh
kaja’, contoh lain : kaja kangin, meme bapa, nyama braya.
C.
Kalau diikat denagn afiksasi kompleks itu
mempersenyawakan unsurnya ‘togtog titih’ dalam bentuk katogtogtitihang, contoh
lain : nyelemputihang, panyamabrayang.
D.
Ada sejenis kruna satma yang satu unsurnya
merupakan unsur khusus, maksudnya hanya dapat tersusun bersama dengan unsurnya
yang lain itu saja, seperti : peteng dedet, unsur dedet hanya
tersusun bersama dengan peteng. Contoh lain : gede gangsuh, selem
denges.
Ciri di luar struktur yang mengenai seluruh ciri yang lain ialah bahwa
kruna satma itu menimbulkan satu makna yang khusus.
Antara (2003 : 64) dalam bukunya Sari Tata
Basa Bali mengemukakan bahwa ciri kruna satma adalah :
Kruna satma merupa kruna tawah (unsur unik, BI)
Upama : kruna ngotngot wantah madue arti, yaning sampun
kagabungan (angkepang) ring kruna selem, awinan ngotngot punika
tan madue arti. Punika taler sane tawah sakadi :
denges wantah ring selem denges
ngalik wantah ring tegeh ngalik
ngaluh wantah ring miik ngalub
miwah sane lianan
Sehingga dari semua ciri-ciri yang dikemukakan
diatas dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri kruna satma (kata majemuk) ada dua (2)
yaitu ciri arti dan ciri bentuk.
1)
Ciri arti
Ciri
arti memang tidak tampak sehingga banyak pakar bahasa beranggapan bahwa sulit
untuk membedakan kruna satma (kata majemuk) dengan frase dari segi arti. Namun
arti adalah hal yang sangat penting dalam membedakan kruna satma dengan frase.
Untuk dapat membedakan kruna satma (kata majemuk) dengan frase dari segi arti,
maka hal tersebut harus dilihat dalam konteks yang lebih besar, yaitu kalimat.
Contoh :
(1) Anak
tuane enu besik ane idup
Orang tuanya masih satu yang hidup
(2) Anak
tua ento umurne satus taun lebih
Orang tua itu umurnya seratus tahun lebih
Konstruksi
sintaksis anak tua ‘orang tua’ dalam kalimat nomor (1) jelas
membentuk satu arti baru, yaitu bisa berarti ‘ayah’ atau bisa berarti ‘ibu’.
Arti yang dikandung dalam kata anak ‘orang’ dan tua ‘tua’ tidak lagi
ditonjolkan. Keduanya sudah kehilangan otonominya. Oleh karena itu, konstruksi
sintaksis anak tua ‘orang tua’ dalam konteks kalimat (1) berfungsi
sebagai satu kata yaitu kata majemuk.
Konstruksi
sintaksis anak tua ‘oang tua’ dalam kalimat nomor (2) tidak menimbulkan arti
baru. Baik kata anak ‘orang’ maupu kata tua ‘tua’ tap menonjolkan
artinya masing-masing dan masih tetap mempertahankan otonominya. Oleh karena
itu, konstruksi anak tua ‘orang tua’ dalam kalimat nomor (2) jelas bukan
kata majemuk melainkan frase.
Berdasarkan
uraian diatas, jelas bahwa ciri arti mudah dipakai untuk membedakan kata
majemuk (kruna satma) dengan frase. Kruna satma menimbulkan satu arti baru,
sedangkan frase memiliki arti sebanyak arti yang dikandung oleh unsur-unsurnya.
2)
Ciri bentuk
Ciri
bentuk yang dimiliki oleh kata majemuk merupakan ciri yang dapat dilihat.
Beberapa ciri bentuk yaitu :
a.
Salah satu unsur kata majemuk dapat berupa
morfem unik
Suatu
konstruksi sintaksis jika salah satu unsurnya berupa morfem unik (MU) maka
jelas konstruksi sintaksis tersebut termasuk kruna satma (kata majemuk).
Contoh : peteng dedet → dedet
adalah morfem unik, sehingga jelas konstruksi sintaksis ini adalah kruna satma
(kata majemuk).
b.
Hubungan antar unsur kata majemuk (kruna
satma) sangat rapat
Karena
kata majemuk adalah satu kata, maka hubungan antar unsur yang membentuknya
sangat rapat atau bersifat tertutup. Oleh karena itu, tidak mungkin disisipkan
suatu morfem lain diantara unsur-unsurnya, kalau disisipi bentuk lain, maka
akan terjadilah konstruksi sintaksis yang tidak gramatikal atau bisa juga
terjadi konstruksi sintaksis yang tidak gramatikal atau bisa juga terjadi
kontruksi sintaksis yang gramatikal, tetapi hakikat kemajemukannya hilang.
Contoh : peteng dedet adalah kata
majemuk (kruna satma). Diantara unsur peteng dan unsur dedet
tidak disisipi suatu morfem lain. Seandainya dipaksakan menyisipkan morfem
(lan), maka akan terjadilah konstruksi sintaksis yang tidak gramatikal, yaitu peteng
lan dedet.
c.
Unsur-unsur pembentuk kruna satma (kata
majemuk) tidak dapat dibalik susunannya
Seperti
diketahui kruna satma (kata majemuk) adalah satu kata, maka hendaknya
diperlakukan sama dengan kata lainnya. Contoh : kaja kauh tidak pernah
berbentuk ‘kauh kaja’.
d.
Unsur-unsur kruna satma (kata majemuk) tidak
dapat diperluas secara terpisah
Contoh
kruna satma sela kutuh diperluas dengan nguda maka kata nguda
‘muda’ ini hanya menjelaskan unsur sela ‘ketela’ dan bukan pula hanya
menjelaskan unsur kutuh ‘pohon’. Akan tetapi keseluruhan kruna satma
diatas bukan menjadi sela nguda kutuh ‘ketela muda pohon’,
melainkan harus menjadi sela kutuh nguda ‘ketela pohon yang muda’.
Macam-Macam Kruna Satma
1)
Kruna satma sepadan (kata majemuk setara)
Yaitu
kruna satma (kata majemuk) yang hubungan antara unsur-unsur yang membentuknya
bersifat setara, unsur yang satu tidak menerangkan unsur yang lain.
Contoh : olas
asih ‘belas kasihan’
meme
bapa ‘ibu bapak’
2)
Kruna satma tan sepadan (kata majemuk tidak
setara)
Yaitu
salah satu unsurnya menerangkan unsur yang lain. Pada umumnya unsur kedua
menerangkan unsur yang pertama.
Contoh : gedang
renteng ‘nama pepaya’
bale
agung ‘nama bangunan, pura desa
3)
Kruna satma sane nganggen kruna tawah
Yaitu
salah satu unsurnya terdiri atas morfem unik yaitu morfem yang hanya ditemukan
dalam bentuk gabungan kata majemuk seperti itu, sedangkan pemunculannya dalam
bentuk gabungan lain tidak mungkin.
Contoh : peteng
dedet ‘gelap gulita’
nyurnyur
manis ‘manis sekali’
Makna Kruna Satma (kata majemuk)
Kruna satma memiliki sejumlah makna sebagai berikut :
1)
Menyatakan melengkapi atau kumpulan dari kedua
unsurnya.
Contoh :
meme bapa ‘ibu bapak’
cerik kelih ‘besar kecil’
kebus dingin ‘demam’
2)
Mengandung pengertian mengeraskan makna secara
padu
Contoh :
olah asih ‘belas kasihan’
setset suranting “cobak cabik’
tresna asih ‘cinta kasih’
baag biing ‘merah padam’
mas manik ‘harta benda perhiaan’
3)
Inti makna pada unsur pertama, unsur kedua,
merupakan penjelasan yang kemudian menimbulkan makna terpadu.
Contoh :
biu kayu ‘nama pisang’
kacang lindung ‘nama kacang panjang’
4)
Mengeraskan makna
Contoh :
selem denges ‘hitam legam’
seger oger ‘segar bugar’
Melihat dari kesekian makna kruna satma
(kata majemuk) maka akan diajukan dalam beberapa contoh kalimat (lengkara)
yaitu :
1)
Menyatakan melengkapi atau kumpulan adri kedua
unsurnya
Contohnya :
-
I Putu Lara setata sebet karana tusing ngelah meme
bapa
-
Cerik kelih pianakne ajak
magarapan
2)
Mengandung pengertian menggerakkan makna
secara padu
Contohnya :
-
Iraga
patut ngelah rasa olas asih teken anak ane kasengsaran.
-
Suba setset suanting bajune ento enu
masi apikina.
3)
Inti makna pada unsur pertama, unsur kedua
merupakan penjelasan yang kemudian menimbulkan makna terpadu.
Contoh :
-
Tiang demen pesan teken biu kayu
-
I meme meli kacang lindung lakar
anggona lawar
4)
Menjelaskan makna
Contoh :
-
Selem denges kulitne karane sesai medendeng
-
Yening iraga seleg olah raga, sinah awake dadi
seger oger
Sehingga dapat disimpulkan bahwa akan nampak
jelas dapat dipahami mengenai makna dan cara penggunaan kruna satma (kata
majemuk) dengan melihat makna kruna satma seperti yang telah dijelaskan diatas
dan disertai contoh kalimat pada masing-masing makna kruna satma tersebut.
Penggunaan kruna satma dalam kalimat bahasa
Bali adalah dengan memperhatikan kalimat (lengkara) yang menyertai kruna satma
tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar