"OM AWIGNAMASTU NAMA SIDDHEM OM SWASTIASTU" SEMOGA SEMUA DALAM PERLINDUNGAN TUHAN, SELAMAT MEMBACA DAN SEMOGHA BERMANFAAT.jangan lupa kunjungi videobsaya di link https://youtu.be/-UJdPDAjETM

8/20/2011

Banten Bukan Simbol Sembarangan


Om Swastyastu,

Di Nepal dan India, saya lihat mereka juga memakai sejenis banten, hanya bentuknya sangat sederhana, yaitu bunga kemitir, daun bila, beras, buah kelapa, dupa, secangkir air suci Gangga, secangkir susu lembu murni, dan dialasi daun jati. Dalam Bhagawadgita hal ini juga diatur dan unsur-unsurnya dari daun, bunga, biji-bijian, air dan api. Dalam lontar Yadnya Prakerti kelima unsur ini dinamakan Panca Upakara.

Panca Upakara yang disajikan disertai puja mantra yang tepat, dapat melengkapi kekurangan-kekurangan upakara lainnya. Pelajaran banten dari India (Madya Pradesh) oleh Maha Rsi Agastya, dikembangkan di Indonesia. Sampai sekarang umat Hindu di Jawa (misalnya) selalu menggunakan bentuk banten dengan nama sajen, walaupun wujudnya sangat sederhana, tetapi unsur-unsur Panca Upakara itu tetap ada. Di Banten (Jawa Barat) upakara yang di Bali kita sebut banten, disana disebut Bali.

Di Bali,bentuk banten lebih bervariasi, diajarkan oleh para Maha Rsi yang datang dari Jawa antara lain : Maha Rsi Markandeya, Danghyang Manik Angkeran, Mpu Sidimantra, Mpu Jiwaya, Mpu Kuturan, dan Danghyang Nirartha.

Terkadang kita kurang paham mengapa leluhur kita di Bali mewariskan tatanan tradisi beragama Hindu seperti yang kita lihat sekarang. Oleh karena itu bagi saya, lebih baik menggali dan mempelajari lontar-lontar yang ada, agar kita bisa mengertiapa alasan beliau-beliau mengajarkan banten kepada kita. Ketimbang lalu mengatakan bahwa leluhur kita itu telah berbuat sia-sia dengan mengerjakan sesuatu yang kurang/tidak perlu, dan merupakan pemborosan, apalagi kalau berani men-cap bahwa leluhur kita telah melaksanakan tradisi beragama yang menyimpang dari weda.

Sekali lagi, bagi saya, sampai sekarang saja, masih banyak sekali pertanyaan yang belum terjawab, tetapi saya tidak berani durhaka untuk menyalahkan leluhur seperti itu, tetapi saya makin giat belajar dan menggali, sehingga satu persatu pertanyaan-pertanyaan itu bisa terjawab. Saya menilai diri saya sebagai orang yang berpikir realistis, logis, ditambah dengan pendidikan memadai serta pengalaman bekerja dalam/luar negeri, tentu saya tidak mau percaya begitu saja pada tradisi-tradisi yang tidak dapat dibuktikan kebenarannya.

Kesimpulan saya sampai hari ini, bahwa leluhur kita telah meninggalkan suatu warisan tak ternilai dalam menata kehidupan spiritual. Hanya saya/kita yang belum mengerti. Seperti anak-anak yang memegang sebuah permata, tetapi dia tidak tahu betapa tinggi harga permata itu, lalu dilempar-lempar seperti kerikil.

Masalah banten ini juga dimanipulir oleh missionaris kristen di Bali, dimana para pendetanya tetap menganjurkan jemaatnya membuat banten bila ada perayaan di gereja. Mulai dari penjor, canang sari, pajegan, dupa, tirta (air suci Yesus), dll. Nampaknya para missionaris takut kehilangan simpati dari orang Bali, atau membodohi jemaatnya bahwa Yesus bisa disembah juga dengan sarana banten.

Masalah ibu asal Jawa, bagi saya tidak perlu dirisaukan, karena banyak sekali saya jumpai ibu-ibu yang asal dari luar Bali dan sebelumnya beragama lain, lalu pandai sekali membuat banten dan tekun melaksanakan upacara agama seperti tradisi di Bali, bahkan bahasa Balinya sangat halus, walaupun logatnya masih belum pas. Di Klungkung, di Malang, di Medan, di Jakarta, saya sering merasa malu karena terkecoh, saya kira ibu itu asli Bali, e e e e tau-taunya bukan. Nah kepada ibu-ibu itu saya angkat jempol, terutama kepada suaminya yang sudahberhasil membina istrinya.

Mengenai Majalah, saya tidak tahu, apa Raditya atau Media Hindu, atau yang lain, karena di Geria ada banyak sekali loper-loper yng membawa majalah, saya tidak tahu entah siapa yang berlangganan, karena penghuni di Geria banyak suka baca, mulai dari istri, anak-anak, mantu, bahkan para pengayah. Kalau Bapak tidak sempat mengirim majalah, tidak apa-apa, tak perlu dirisaukan, karena saya juga tidak pernah minta-minta. Mereka yang dermawan biasanya memberikan sesuatu tanpa pernah menyebut-nyebut itu.

Om Santih, santih, santih

Bhagawan Dwija

Tidak ada komentar:

Posting Komentar