BAB I
PENDAHULUAN
Bagi masyarakat Hindu di Bali “mejejahitan” adalah pekerjaan tangan dengan bahan utama daun-daunan dan bambu. Hasilnya disebut “jejahitan” digunakan dalam upacara keagamaan sebagai alas persembahan. Pelengkap busana pada bangunan suci dan peralatan upacara lainnya. Banyak diantara lainnya berbentuk sangat indah, dibuat dari bahan yang segar dilengkapi bunga aneka warna sehingga berfungsi pula sebagai dekorasi.
Maka dari itu hasil dari jejahitan akan dibentuk sebuah banten, yang mana banten ini merupakan hasil dari jejahitan, salah satunya adalah banten byakala. Banten byakala ini dibuat dari beraneka raham rerasmen dan lain-lain. Pekerjaan tangan ini wajib dipahami oleh kaun wanita sehubungan dengan tugas dan kewajibannya untuk menyelenggarakan upacara dan yadnya serta persembahan kepada leluhur. Tugas dan kewajiban ini merupakan cara untuk mendekatkan dirinya kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa karena kegiatan tersebut adalah Beliau. Penggunaanya dalam upacara keagamaan, berarti pula hasil kerajinan tangan berupa jejahitan dan banten yang dapat dinikmati oleh seseorang secara lahir dan bathin, serta menjadi persembahan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam berbagai manifestasinya.
BAB II
PEMBAHASAN
Falsafah Byakala
Menurut Jro Mangku Susila Yasa, sesungguhnya untuk membuat banten Byakala diperlukan beberapa jenis perlengkapan antara lain :
1. Ayakan (sidi) yang diuat dari bambu; ayakan ini nantinya juga merupakan tempat dari pada perlengkapan lainnya.
2. Kulit-sesayut yaitu sejenis jejahitan berbentuk bundar dengan potongan yang khusus (isehan di tangannya). Dalam hal ini kulit sesayut dibuat dari “selepan” (daun kelapa yang sudah hijau).
3. Kulit – peras – pandan adalah kulit – peras yang dibuat dari daun pandan berduri (pandan – wong).
4. Nasi dan garam atau lauk pauk lainnya di bungkus dengan daun pisang sedemikian rupa sehingga ada yang berbentuk segi empat dan segi tiga (nasi metajuh, nasi timpuh).
5. Penek hamong adalah sebuah penek nasi yang di sisipi terasi mentah, bawang dan jahe.
6. Rerasmen adalah sejenis lauk pauk yang terdiri dari kacang-kacangan (di goreng) sesaur (serundeng kelapa), ikan teri, telur, garam dan sambel; lauk pauk tersebut dialasi dengan sebuah tangkih berbentuk segi tiga, sedangkan sambel dengan garamnya dialasi dengan tangkih kecil. Adakalanya dilengkapi terung, timun, kecai (kacang hijau yang baru tumbuh atau kecambah) dan tulung (sejenis rumput laut).
7. Pebersihan (pesucian) yaitu sebuah ceper berisi alat-alat yang berfungsi sebagai penyucian seperti :
- Kekosok, dibuat dari tepung beras; ada yang berwarna putih, dan sebuah lagi di campur dengan kunir sehingga warnanya kuning disebut kekosok kuning.
- Bahan kerasmen, umpama kelapa di parut/daun kembang sepatu yang disisir halus ataupun yang lain.
- Sisig adalah sejenis alat untuk membersihkan gigi, dibuat dari sejenis jajan yang dibakar sampai gosong.
- Tepung tawar, dibuat dari daun dadap, beras dan kunir, kemudian ditumbuk menjadi satu.
- Kapas diisi sedikit minyak kelapa atau minyak wangi.
- Bija, adalah dicuci kemudian dicampur dengan air cendana atau bunga yang berbau wangi.
Bahan-bahan tersebut masing-masing dialasi dengan sebuah tangkih kecil berbentuk segitiga (celemik) dan diatasnya di susuni sebuah payasan seperti pada daksina.
8. Sorohan alit terdiri dari :
- Peras-alit yaitu seperti banten peras, hanya isinya serba sedikit, demikian pula tumpeng dan sampiannya sangat kecil.
- Tulung, yaitu sebuah tangkih berbentuk segitiga ditempatu tiga buah jejahitan yang disebut tulung sangkur; ketiga tulung itu berisi sedikit nasi dan rerasmen, kemudian di sela-selanya dilengkapi dengan jajan buah-buahan, sedangkan sampiannya berbentuk tangkih lengkap berisi porosan serta bunga.
- Sesayut adalah sebuah kulit sesayut kecil berisi sedikit nasi, rerasmen, jajan buah-buahan dan sampian nagasari yang kecil, ketiga perlengkapan (tetandingan diatas) diikat menjadi satu.
9. Isuh-isuh yaitu sebuah ceper yang berisi : sampat, sabet, sebuah tangkih, base tulak, sebutir telur.
- Sampat adalah sejenis sapu lidi yang kecil dibuat dari beberapa buah ujung lidi.
- Sedangkan sabet dibuat dari serabut kelapa yang dijepit dengan bambu atau lidi.
- Sebuah tangkih berisi sejenis ramuan yang dibuat dari daun dadap, lalang yang masih hijau, daun kayu tulak, daun kayu sisih, ditumbuk menjadi satu. Ada pula yang melengkapi dengan daun-daunan lainnya.
- Base tulak yaitu sejenis porosan yang bentuknya khusus dibat dari 3/5 lembar daun sirih diisi sedikit kapur, daun pinang.
10. Penyeneng adalah sejenis jejahitan yang bentuknya sedemikian rupa sehingga di tengah-tengahnya terbagi menjadi tiga petak; petak pertama berisi nasi-segau (nasi di campur dengan abu), petak kedua berisi tepung tawar, petak ketiga berisi bija dan sedikit benang, sedangkan porosannya ditaruh di sela-selanya.
Khusus pada banten byakala, penyenengnya dibuat dari daun andong yang merah (andong bang) demikian pula tetebusnya adalah benang merah.
11. Sampian nagasari adalah sejenis canang genten tetapi alasnya berbentuk bundar dibuat dari janur/daun kelapa yang agak tua, ada yang disebut : tangga menek, tangga tuwun, jan sesapi, lilit-linting, dan lawat buah, lawat nyuh : yang semuanya diikat menjadi satu.
Bila keadaan memungkinkan dapat pula dilengkapi dengan padma dan lis pabyakalan, yang bentk anyam-anyaman serta jejahitannya lebih banyak dari pada lis amu-amuan.
12. Tetimpung yaitu beberapa ruas bambu yang agak mentah, sehingga bila dibakar akan menimbulkan letusan. Dalam upacara ini diusahakan adanya tiga kali letusan. Untuk maksud tersebut sudah tentu diperlukan alat/tempat untuk membakarnya. Pembakaran tetimpug dilakukan sebelummenghaturkan banten byakala dan tempatnya sesuai dengan tempat dimana upacara mabyakala diselenggarakan. Selain daripada itu jika keadaan memungkinkan dilengkapi dengan sebuah kekeb yaitu sejenis alat untuk menutupi nasi pada waktu di masak.
Bagian luar dari kekeb itu diisi tanda silang (tampak-dara) dengan kapur, dan sewaktu upacara berlangsung letaknya menengadah sedangkan setelah selesai ditengkurupkan.
Dalam upacara-upacara yang lebih besar ada kalanya ditambahkan dengan perlengkapan yang disebut :
13. Amel-amel, adalah sebuah limas (sejenis jejahitan yang diisi tiga lembar daun dadap, ujung pohon dadap, padang lepas (sejenis rumput), dan seet mingmang (sejenis anyam-anyaman dari daun lalang yang muda); semua perlengkapan tersebut diikat dengan benag merah, putih dan hitam (benang tridatu).
14. Sasak mentah, adalah 3 pulung nasi disirami darah mentah dan dilengkapi dengan terasi mentah, bumbu-bumbu dirajang, kemudian dialasi dengan limas atau tempurung kelapa.
Adapun cara menyusun perlengkapan-perlengkapan tersebut sebagai berikut :
Alas tempatnya adalah sidi, diatasnya berturut-turut disusuni kulit sesayut, kulit peras-pandan, sebungkus nasi yang berbentuk segi empat, satu bungkus lagi yang berbentuk segi tiga dan sebuah penek hamong, sedangkan perlengkapan yang lain ditaruh di sekitarnya, kecuali tetimpug dan kekeb.
Banten ini disebut pula “bya-kaonan” dan merupakan salah satu banten yang berfungsi sebagai penyucian dalam arti menghilangkan para bhuta kala yang tidak sewajarnya berada pada suatu tempat atau diri seseorang. Oleh karena it akan dipergunakan sebagai pendahuluan sesuatu upacara itu baik otonan, persembahyangan umum/bersama, menjelang hari raya Galungan, Nyepi dan lain-lainnya.
Upacara dilakukan di halaman rumah atau halaman mrajan, menghadap ke selatan, sehingga bila banten ini ditujukan kepada seseorang, maka orang yang bersangkutan akan membelakangi pintu rumah atau menghadap ke utara. Pada waktu ‘natab/ngayab” tangan diayunkan ke arah belakang, tidak ke arah bawah/dada, sebab upacara ini bertujuan untuk menghilangkan para bhuta-kala serta mengembalikan ke tempat asalnya dan tidak mengganggu pelaksanaan upacara berikutnya.
Pada dasarnya perlengkapan yang terdapat pada banten ini dapat dibedakan sebagai berikut :
· Yang berfungsi sebagai penyucian adalah perlengkapan. Perlengkapan yang terdapat pada pesucian, isuh-isuh, penyeneng, amel-amel (jika ada) dan air atau tirta.
· Yang berfungsi sebagai alat untuk menciptakan air atau tirta, adalah lis amu-amuan (bebuu) lis pebyakala, dan padma.
· Yang berfungsi sebagai pemberian kepada para bhuta kala, adalah nasi yang dibungkus dengan daun pisang, penek hamong, sasak mentah dan soroan alit.
Mengenai pemakaian sidi (Ayakan) dan kekeb kemungkinan mempunyai arti simbolis pemisahan antara yang berfaedah dengan yang tidak diperlukan, serta melindungi dari pengaruh-pengaruh luar yang akan merugikan, sebagaimana hanya sidi (ayakan) adalah merupakan alat untuk memisahkan beras dari dedak, dan kekeb merupakan alat untuk menutupi nasi agar bisa masak dengan baik. Sedangkan pemakaian tetimpug, rupa-rupanya mempunyai makna memanggil/mengeluarkan para bhuta kala agar pergi meninggalkan tempat/orang yang bersangkutan sebab upacara segera akan dimulai.
Dengan demikian memahami fungsi daripada perlengkapan-perlengkapan pada banten ini diharapkan pembuatannya disesuaikan dengan desa, kala, patra, sehigga dapat dipergunakan sebagaimana mestinya.
Prayas Cita
Untuk membuat banten prayascita diperlukan pula beberapa perlengkapan seperti :
- Kulit sesayut, kulit peras, nasi, rerasmen, jajan, buah-buahan, soroan alit, pesucian, penyeneng, sampian nagasari, babuu, padma, lis senjata (1), kelapa gading yang muda (kelungah), air bersih dan air suci (tirta yang dimohon dari seorang sulinggih) atau yang dianggap wajar untuk maksud tersebut. Semua jenis jejahitan dalam banten ini diusahakan mempergunakan janur kelapa gading khususnya padma dan lis senjatanya.
Adapun cara mengaturnya hampir sama dengan banten byakala, tetapi alas atau tempatnya bisa mempergunakan baki atau yang lain yaitu berturut-turut disusun.
- Kulit sesayut, kulit peras (berbentuk bundar), nasi (juga berbentuk bundar)m diisi sedikit rerasmen, lima iris dadar telur yang diletakkan sedemikian sehingga menunjukkan arah mata angin, sedangkan perlengkapan lainnya ditaruh di sekitarnya.
Pada waktu akan mempergunakan, kelapa gading di buka sedemikian rupa sehingga membentuk segitiga (mekasturi). Banten ini dipergunakan sebagai penyucian, baik untuk melengkapi banten byakala, banten pemujan yang ditaruh di depan pendeta memuja, atau dipergunakan tersendiri untuk menyucikan bangunan-bangunan yang baru selesai, baru diperbaiki, sehabis kecuntakaan karena adanya anggota keluarga/kampung yang meninggal, dan kekeruhan-kekeruhan pikiran serta perasaan.
Kesucian yang diperoleh dalam hal ini rupanya dengan memohon kekuatan-kekuatan yang dimiliki oleh para dewa khususnya Dewa Nawa Sanga, yang mana hal tersebut dilukiskan dengan lis senjata.
Seperti diketahui reringgitan-reringgitan pada lis senjata ada yang disebut bajra, merupakan senjata/kekuatan dari Dewa Iswara, Gada merupakan senjata/kekuatan dari Dewa Brahma, Cakra merupakan senjata/kekuatan dari Dewa Wisnu dan lain sebagainya.
Adapun cara penggunaannya adalah dengan jalan menghaturkan serta mencipratkan perlengkapan yang ada pada pesucian, penyeneng, serta air bersih (yeh anyar), air kelapa gading, dan tirtha, pada tempat-tempat suci (bangunan-bangunan di merajan) bangunan-bangunan di rumah, di dapur, di sumur, akhirnya dipakai pula oleh semua anggota keluarga yang bersangkutan.
Bila dipergunakan bersamaan dengan banten byakala, maka yang dipakai/dihaturkan terlebih dahulu adalah banten byakala, kemudian barulah diselenggarakan upacara maprayascita.
Menurut Jro Mangku Susila Yasa, lis-senjata adalah sejenis jejaitan yang dibuat dari tiga lembar janur (Janur kelapa gading), dengan reringgitan-reringgitan yang diberi nama sesuai dengan nama senjata Nawa Sanga. Umpama : Bajra, Gada, Angkus, dll
Bentuknya tidaklah seperti lukisan/sebenarnya tetapi hanya berdasarkan imajinasi seseorang, sehingga kemungkinan agak berbeda satu dengan yang lainnya.
BAB III
P E N U T U P
Pada masa lampau tidak ada kendala bagi kaum wanita untuk mempelajari serta membuat jejahitan, karena lapangan kerjanya sangat terbatas dan mereka lebih banyak tinggal di rumah.
Tetapi dewasa ini keadaan sudah sangat berubah, sehingga banyak diantaranya yang tergolong tidak sempat lagi melaksanakan hal tersebut khususnya hal ini banyak dialami oleh para wanita yang berada di wilayah perkotaan, hal ini disebabkan oleh perkembangan jaman dan tuntutan hidup.
Maka perlu disadari oleh masyarakat khususnya umat Hindu agar senantiasa melestarikan seni budaya warisan nenek moyang.
Dapat diambil contoh “banten Byakala” dimana dapat kita ketahui bahwa tidak semua orang tahu atau bisa membuat banten tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar