1. Rangakapan Aksara Suara dan Wianjana
Rangkapan antara aksara suara dengan wianjana, dalam pembentukan suku kata, kata atau kalimat. Penjelasan-penjelasan mengenai rangkapan aksara-aksara- ini telah banyak, cukup kiranya kalau kami kemukakan contoh-contoh dan yang penting-penting saja.
 | Wianjana + suara (a, ä, i, ï, u, ü, e, ë, o, ö, r, l ) Umpama + a, ä, i dan lain sebagainya akan menjadi              |
 | Wianjana + suara + wianjana |
 | dan sebagainya. |
 | Rangkapan dengan ardasuara: Karena kedudukannya berubah menjadi suara dan diganti dengan pangangge aksara lalu ditulis sebagai berikut:
Candra |  |  | Bangkuang |  |
Dantia |  |
| Kemplang |  |
Tamblang |  | menghindari susunan tiga |
|
Keterangan
 | Uger-uger Bali berbunyi: l (dengan sandangan suaranya) tan wenang tumpuk tiga. |
 | Wianjana pada akhir kata yang tidak bersambung dengan suara atau wianjana lainnya ditulis dengan adeg-adeg, umpama:  |
 | Penggunaan adeg-adeg dapat kami simpulkan sebagai berikut, yaitu:
 | Apabila sudah nyarik, yaitu carik siki atau carik kalih. |
 | Menghindari susunan tiga (tumpuk telu) |
 | Untuk mempertahankan pasang, dalam hubungan kalimat: 
|
 | Kami usulkan dalam hal kalimat meragukan arti, terutama pemakaian ardasuara: Coba baca kalimat ini: Lebih jelas kalau ditulis sebagai berikut: (Usul ini ditolak. Alasan: lihat hubungan kalimatnya) (bb: Belakangan ide pak Tinggen ini dapat diterima pada terbitan Pedoman Pasang Aksara Bali - Disbud 1997) |
|
2.
Rangkapan wianjana dan kewargaan aksara
Perlu kami jelaskan, bahwa menurut hasil keputusan Pasamuhan Agung Kecil Bahasa Bali tahun 1963 uger- uger hanya berlaku dalam satu lingga. Sesuai dengan kewargaan aksara-aksara itu, maka rangkapan wianjana itu terdapat rangkaian gantungan gempelan.
Keterangan:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar